SURABAYA- Hari Ini merupakan hari bersejarah bagi Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya. Pasalnya tiga terpidana korupsi gratifikasi dana jasa pungut (japung) Pemkot Surabaya berjanji akan menyerahkan diri pasca dilayangkan surat panggilan eksekusi kedua yang dilayangkan Kejari Surabaya pada Senin (12/2) lalu.
Pekan lalu, bertempat di Balai Kota Surabaya Sekkota Soekamto Hadi, Mantan Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolahan Keuangan, Purwito dan Assiten II Sekkota Muhlas Udin menggelar jumpa pers. Dihadapan wartawan, trio terpidana itu mengaku akan menyerahkan diri pada panggilan keduannya tanpa harus dieksekusi paksa oleh Kejari Surabaya.
Selain itu, Soekamto, Poerwito dan Muhlas udin juga mendatangani pernyataan penyerahan dirinya yang dituangkan dalam press releasenya.
Dalam releasnya, mereka menyangkal bila dikatakan mangkir terhadap panggilan eksekusi pertama yang dilayangkan Kejari Surabaya dengan dalih mempersiapkan mental baik secara pribadi maupun keluarga mereka serta alasan kesehatan.
Atas dalil itulah, Kejari Surabaya melunak. Namun kelunakan itu ada batasnya, Soekamto,Poerwito dan Muhlas Udin kembali mendapat panggilan eksekusi untuk kedua kalinya.
Terpisah, saat dikonfirmasi melalui ponselnya minggu (17/2) kemarin, Kasipidsus Kejari Surabaya Nurcahyo Jungkung Madyo terkait penyerahan diri Soekamto dkk. Nurcahyo enggan mengangkat, Bahkan sms yang dilayangkan juga tidak dibalas.
Hal serupa juga ditunjukan George Handiwiyanto selaku pegacara yang ditunjuk ketiga terpidana untuk mendaftarkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan ketiga terpidana. Meski terdengar nada dering namun George tak mengangkat.
Sementara, praktisi hukum Universitas Airlangga (Unair) I Wayan Titip Sulaksana merespon positif niat baik yang akan dilakukan Soekmato dkk untuk menyerahkan diri. Namun niat baik tersebut bagi Wayan bukan dilakukan untuk membuat opini akibat pemberitaan media.”Ya kalau seperti itu niatnya saya akui baik. Cuma jangan hanya omong doang, lakukanlah bila mereka mau masih dipandang terhormat dan taat pada hukum. Jangan gara gara ditulis wartawan baru membentuk opini penyerahan diri,”ungkap dia saat dikonfirmasi melalui ponselnya, minggu (17/2) kemarin.
Saat ditanya terkait upaya peninjauan kembali (PK) yang dilakukan Soekamto dkk apakah merupakan kamuflase untuk mengulur eksekusi. Menurut Wayan, langkah PK merupakan hak tertinggi terpidana, namun proses eksekusi tetap harus dilakukan,”PK tidak bisa menghalangi esekusi. Meski Upaya PK adalah hak terpidana yang tertinggi,”pungkas dia.
Seperti diketahui, Dalam putusan nomor 1465 K//Pid.Sus/2010, tiga majelis hakim tingkat kasasi di MA yang terdiri dari hakim agung Prof Rehngena Purba, Suwardi dan Imron Anwari. menjatuhkan hukuman satu tahun enam bulan terhadap Soekamto, Muhlas dan Purwito. Selain itu mereka juga dihukum untuk membayar denda sebesar Rp 50 juta subsider 5 bulan kurungan
Soekamto, Purwito dan Muhlas Udin terbukti melanggar pasal 3 undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Soekamto dkk telah memberikan uang jasa pungut sebesar Rp 720 juta kepada Musyafak Rouf. Pemberian itu menyalahi ketentuan karena sesuai peraturan pemerintah nomor 24 tahun 2004, anggota dewan hanya diperbolehkan menerima uang representasi, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan panitia musyawarah, tunjangan panitia anggaran, tunjangan komisi, tunjangan badan kehormatan dan tunjangan alat kelengkapan lainnya.
Musyafak tanpa melalui rapat dewan atau peraturan daerah meminta secara lisan uang japung itu ke walikota melalui Muhlas Udin.
Dari Rp 720 juta yang diberikan itu, sebanyak Rp 470 juta diberikan oleh Soekamto Hadi dan digunakan untuk Musyafak pribadi. Sementara Rp 250 juta diberikan oleh Muhlas Udin yang kemudian oleh Musyafak dibagi-bagikan ke anggota DPRD Surabaya lainnya.
Ketika persidanganya digelar di peradilan tingkat pertama yakni PN Surabaya pada Maret 2012, Majelis hakim yang diketuai IGN Astawa menyatakan perbuatan Soekamto, Muhlas Udin, Purwito tidak terbukti dan dibebaskan secara murni atau istilah hukum disebut vrispracht.
Namun putusan bebas tersebut mendapatkan perlawanan dari Kejari Surabaya dalam bentuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung hingga akhirnya Kejaksaan menang, Soekamto dkk dinyatakan terbukti korupsi. (kas)