Surabaya – Pasien face off Rumah Sakit Umum (RSU) Dr Soetomo, Surabaya, Siti Nur Jazilah (28) atau Lisa, Rabu (27/2) pagi kembali menjalani operasi di Gedung Bedah Terpadu RSU Dr Soetomo. Operasi ke-17 tersebut merupakan tahap koreksi di tiga titik wajah Lisa. ”Operasi memakan waktu 6 jam dari pukul 07.00 tadi,” ujar Ketua Forum Pers RSU Dr Soetomo, Dr Oerip Murtedja di RSU Dr Soetomo, Surabaya, kemarin.
Dr Oerip Murtedja menjelaskan operasi ke-17 ini, difokuskan pada wajah Lisa yang terdapat jaringan parut atau keloit, yakni di tiga titik, meliputi perbaikan kelopak mata kanan, menipiskan bagian pipi kanan, dan membentuk bibir agar lebih simetris. ”Perbaikan kelopak mata lantaran Lisa sering mengeluarkan air mata dan perih saat berkedip, dan pasien mengaku kurang nyaman di beberapa bagian wajahnya,” jelasnya.
Lisa sudah menjalani 16 kali prosedur pembedahan sejak 2006 lalu, operasi yang berakhir pukul 13.00 WIB itu dipimpin oleh Ketua Tim Operasi Bedah Wajah, Profesor Dr dr M. Sjaifuddin Noer, SpBP-re (K) dengan didampingi anggota Tim Bedah Plastik, Dr David Perdanakusuma. Ia juga mendapatkan pendampingan dari tim psikiater, Dr Nalini M. Agung. ”Menerjunkan 6 dokter spesialis terdiri dari bedah plastik dan anastesi. Termasuk Bu Nalini supaya tenang”, paparnya.
Rekronstruksi wajah Lisa akibat siraman air keras oleh mantan suaminya, Mulyono tersebut, lanjut Dr Oerip Murtedja, membutuhkan waktu panjang karena detail dan rumit. “Setelah operasi ke-17 ini, kita harapkan yang terakhir, meski pun kita tidak bisa bikin Lisa cantik lagi tapi ini hasil maksimal yang bisa diupayakan”, ujarnya.
Tim yang beranggota mencapai 50 orang tersebut, sebagian besar bergelar profesor dan guru besar dari Universitas Airlangga Surabaya, dengan bidang keahlian anastesi, operasi plastik hingga psikologi.
Menurut Dr Oerip Murtedja, reka ulang wajah perempuan asal Turen, Malang ini hingga ke-17, karena secara prosedur bedah mekroskopik dengan mengganti jaringan parut akibat rusak oleh air keras, skala rekronstruksinya sangat luas, meski operasi dibantu dengan alat teknik sangat canggih. “Apalagi operasi ulang dagu, bibir, pipi, kelopak mata dan leher, harus berulang-ulang dan dalam waktu lama,” tambah Urip
Traumatis akibat kekerasan dan operasi rekronstruksi wajah berulang-ulang, kata Dr Oerip Murtedja, merupakan penanganan pertama terhadap Lisa. Yakni dengan pendampingan terapi psikologi terus-menerus selama menjalani perawatan. “Operasi sering kali gagal karena pasien tak siap dengan pasca pembedahan. Dia (Lisa-red) kan takut nanti tidak cantik lagi, dulunya kan dia primadona to,” jelas Urip Murtedja.
Kemandiriannya mengikuti kegiatan sosial di sekitar RSU Dr Soetomo, kata Dr Oerip Murtedja, membuat Lisa mampu menerima kenyataan. “Jadi kita bukan cuma tangani operasi fisiknya tapi juga menyiapkan mentalnya, ini satu paket.” katanya.
Lisa yang berasal dari keluarga miskin, mengharuskan dirinya bekerja sejak usia muda. Hingga akhirnya dirinya bertemu dan menikah dengan Mulyono Eko (48), hingga kemudian ia mendapatkan serangan air keras pada wajahnya. Pengadilan pun menjatuhkan vonis hukuman 12 tahun penjara atas Mulyono, tambah enam bulan karena terbukti memalsukan surat nikah dengan Lisa.
Menurut pasal 11 UU PKDRT, pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga dan menurut pasal 12 ayat (1) menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi tanggung jawab pemerintah.
Namun, nyatanya, sosialisasi dan advokasi kekerasan dalam rumah tangga masih minim. Masoh banyak masyarakat yang belum mengetahui apalagi memahami UU PKDRT, bahkan di kalangan aparat penegak hukum masih timbuh berbagai persepsi.
Sehubungan dengan banyaknya hal baru dalam UU PKDRT yang tidak ditemukan dalam UU lain, seperti perlindungan sementara dan perintah perlindungan, juga adanya tindak pidana berupa jenis kekerasan lain di luar kekerasan fisik, diperlukan pendidikan dan pelatihan yang memadai bagi aparat penegak hukum dan pekerja sosial untuk menyamakan persepsi.
Disamping itu, diperlukan sosialisasi yang memadai bagi masyarakat luas, terutama bagi para pihak yang berpotensi melakukan KDRT, sebagai upaya pencegahan. Agar bila terjadi KDRT, ia dapat memperbaiki nasibnya karena telah mengetahui hak-haknya. (ara)