SURABAYA — Institute of Tropical Disease (ITD) Universitas Airlangga Surabaya mengusulkan tenaga paramedis juga diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) sebagai bagian perlindungan. Usulan itu disampaikan menyusul rentannya dokter tertular virus HIV/AIDS. Berdasar data ITD, pada tahun 2012 lalu ITD menemukan ada tiga orang dokter yang tertular HIV. Belum diketahui secara pasti darimana mereka bisa tertular virus HIV. Namun besar dugaan jika mereka tertular, karena menangani pasien terinfeksi HIV.
“Kita belum tahu darimana terinfeksinya. Tapi yang jelas kasus itu benar-benar ada. Dan besar dugaan memang berkaitan dengan profesi mereka sebagai dokter,” kata Ketua ITD Profesor Nasronudin dalam rilisnya, Kamis (28/2).
Menurut Nasronudin, temuan dokter yang terinfeksi virus HIV ini bisa jadi angkanya akan lebih banyak lagi, jika dokter tak menaruh perhatian pada prosedur medis. Karena pada prinsipnya, dengan menaati prosedur medis, sebenarnya dokter sudah aman dari ancaman penularan virus HIV.
Oleh karena itu Nasronudin menyarankan agar setiap dokter selalu memakai alat kewaspadaan universal yang sempurna. Sempurna artinya tak harus lengkap sekali, namun sesuaikan dengan kebutuhan. Karena dokter dan tenaga tenaga paramedis lainnya termasuk dalam kelompok rentan tertular HIV.
“Kadang-kadang dokter memang kecolongan. Karena pada stadium awal pengidap HIV memang gejalanya
tidak nampak,” papar dia.
Selain taat pada prosedur medis, lanjutnya, kejujuran seorang pasien terinfeksi HIV sebenarnya juga mempunyai peranan. Karena jika sebelum dilakukan tindakan medis, pasien mengaku jika ia mengidap HIV, maka
dokter bisa melakukan langkah antisipasi agar tak tertular. “Namun ini dilema juga. Kadang saya menanyakan kepada pasien kenapa tak menunjukkan surat rujukan. Mereka bilang, kalau saya menunjukkan rujukan, saya takut tak akan dilayani dokter. Nah, ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi dokter dan masyarakat,” kata Nasronudin seraya
mengingatkan bahwa virus HIV ternyata masih mengancam dalam kantong-kantong darah yang didistribusikan oleh PMI.
Menurut Nasronudin, selama ini PMI masih menggunakan screening antibody untuk mengetahui apakah seorang pendonor terinfeksi virus HIV atau tidak. Padahal screening antibody ini tak cukup kuat untuk mendeteksi virus HIV. Karena virus HIV, jika penularannya masih berumur tiga minggu sampai tiga bulan atau yang sering disebut sebagai
window periode, masih tak dapat dideteksi oleh screening antibody.
“Saran saya bagi para penerima donor, lakukan tes anti gen. Atau kalau ingin lebih akurat lagi lakukan tes virus load. Tes semacam ini bisa mendeteksi virus HIV yang masih masuk dalam masa window periode,” tegasnya.
Kata Nasronudin, memang untuk melakukan dua tes terakhir itu harganya lebih mahal. Untuk melakukan screening antibody seperti yang dilakukan PMI butuh dana sekitar 175-200. Sedangkan untuk tes anti gen, memang lebih mahal yaitu lagi sekitar Rp 400 ribu sedangkan untuk virus load paling mahal sekitar sekitar 900 ribu.
“Namun uang kan bisa dicari. Sedangkan jika tertular virus HIV obatnya masih belum ada,” ucap dia.
Nasronudin menambahkan, kesadaran agar tak tertular HIV ini sangat penting. Jangan terlalu memikirkan berapa uang yang harus dikeluarkan. Karena dibandingkan dengan penularannya lainnya, penularan virus HIV
melalui darah perbandingannya 1:1. Sedangkan jika penularan melalui hubungan seksual perbandingannya 1;60.
“Artinya sekali tertular virus melalui transfusi darah, maka akan langsung tertular. Sebaliknya jika lewat hubungan seksual, butuh 60 kali berhubungan dengan PSK, baru ada kemungkinan tertular,” terang ketua ITD ini.
Untuk itu, dirinya meminta Pemerintah untuk memasukan tenaga Paramedis secepatnya diatur dalam Raperda. Meski pun angkanya masih kecil, namun mereka sebenarnya bisa dimasukkan dalam kategori kelompok rentan. ( neu/han)