BANGKALAN – Kasus sengketa lahan antara masyarakat Desa Patenteng Kecamatan Modung dengan Perhutani tampaknya belum mendapatkan titik temu. Apalagi hingga saat ini, kedua belah pihak yang bersengketa sama-sama mengklaim memiliki hak atas lahan tersebut.. Keduanya disarankan menyelesaikan permasalahan dengan mekanisme hukum sebagai alternatif terakhir, jika tidak permasalahan tersebut tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
“Kami dari Komisi A sudah mengingatkan kedua belah pihak agar menyelesaikan sengketa ini di pengadilan,” kata Ketua Komis A DPRD Bangkalan, Syafiudin Asmoro.
Menurut Syafi, satu-satunya cara pembuktian dan penyelesaian masalah yaitu dengan menggunakan mekanisme hukum yang berlaku. Sebab, yang berhak menentukan kebenaran sertifikat yang dimiliki oleh kedua belah pihak adalah pengadilan. Oleh sebab itu, di sanalah akan diketahui siapa pemilik sah lahan yang menjadi objek sengketa. “Kami hanya bisa memediasi saja, tidak bisa mengambil sikap terlalu mendalam,” imbuhnya.
Selain itu, kata Syafi, ada permasalahan lain yang menyebabkan kasus sengketa lahan menjadi stagnan. Permasalahan yang dimakud adalah stigma yang ada di tengah-tengah masyarakat saat ini, persepsi masyarakat menyatakan bahwa, pihak yang mengajukan gugatan, adalah pihak yang salah dalam suatu perkara. Padahal, belum tentu yang mengajukan gugatan tersebut merupakan pihak yang bersalah. Bisa saja, pihak yang merasa dirugikan dengan suatu hal, itulah yang mengajukan gugatan secara yuridis. “Paradigma seperti ini jelas menjadi kendala dalam menyelesaikan suatu perkara,” terang Syafiudin.
Dijelaskan oleh Syafiudin, dalam sengketa ini, kedua kubu saling mengklaim dengan bukti kepemilikan masing-masing. Perhutani berpedoman pada peta batas yang dikeluarkan menteri Perhutani pada tahun 1989.
Sedangkan warga mengacu pada patok D yang dimiliki sejak dahulu. Kendati demikian, Komisi A berpendapat, bahwasanya tidak ada alasan yang kuat bagi Perhutani mengklaim lahan tersebut dengan hanya bermodalkan peta batas yang terbit dari SK Kemenhut. Warga dengan petok D tersebut sudah cukup kuat menjadikan bukti kepemilikan atas lahan sebagai tanah mereka.
“Untuk itu, hemat kami bahwa penyelesaian secara litigasi (secara hukum), menjadi alternatif dalam meredam konflik,” tandasnya.(dn/rah)