SUMENEP – Anomali cuaca di daerah Kota Sumenep, membuat sejumlah petani garam beralih profesi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Di antara mereka ada yang beralih menjadi kuli bangunan, buruh tani, bahkan menjadi tukang becak.
”Kalau terus menerus hanya menunggu datangnya musim kemarau untuk bertani garam, bisa tidak makan, Mas. Lagian tahun ini kan cuacanya tidak menentu, kadang hujan kadang panas. Ya terpaksa kita sendiri yang harus pintar-pintar cari pekerjaan lain, agar dapur tetap ngebul, Mas,” terang Harto (42), petani garam yang beralih profesi jadi kuli bangunan, Senin (22/7).
Hal senada juga di ungkapkan, Sadriye (45), petani garam yang juga bekerja sebagai kuli bangunan. Pemilik empat hektare lahan garam itu mengatakan, selama cuaca tidak menentu, dirinya bekerja sebagai kuli bangunan di Kota Sumenep. Tidak menentunya puasa memaksa dirinya harus mengambil tindakan untuk mencari pekerjaan alternatif. “Karena cuaca tak kunjung stabil, ya terpaksa jadi kuli bangunan karena keluarga butuh makan, Mas,” terangnya.
Ia menjelaskan, biasanya kalau harga garam stabil saat musim panen seperti musim kemarin, hasilnya bisa mencukupi kebutuhan hidup hingga musim berikutnya. ”Karena kemarin harga garam tidak menentu alias anjlok, maka akhirnya petani garam yang jadi korban, dan harus mencari pekerjaan lain yang dapat menghasilkan uang demi makan kelurga, Mas,” imbuhnya.
Asnawi, petani garam asal Desa Kertasada Kecamatan Kalianget, mengatakan, setiap hari memancing untuk memenuhi nafkah keluarga. Setiap hari ada sekitar 20 hingga 30 belut yang berhasil dipancing, dan dijual ke pasar. “Harganya Rp 20.000 per kilogram, ya lumayan, ketimbang nganggur dan tidak ada pekerjaan,” terangnya.
Selain dua petani garam tadi yang beralih profesi sebagai kuli bangunan, juga masih banyak petani garam lainnya yang bekerja di luar profesinya. Hal itu dilakukan semata-semata untuk menghidupi.
Ketua Paguyuban Petani Garam Rakyat Sumenep (Peras) Hasan Basri (36), membenarkan jika banyak petani garam yang beralih profesi menjadi kuli bangunan, buruh tani, tukang becak, bahkan beberapa anggotanya ada yang merantau hingga ke luar daerah.
Sebelumnya, beberapa orang anggota kelompoknya telah beberapa kali mencoba produksi, namun usaha tersebut selalu gagal karena terus diguyur hujan, “Kemungkinan tahun ini terjadi musim kemarau basah, sehingga usaha produksi garam yang kami lakukan garam, selalu mengalami kegagalan,” terangnya.
Karena selalu gagal, para petani garam akhirnya memilih untuk menunda upaya produksi garam, dan mencari pekerjaan alternatif agar tetap bisa bertahan hidup. “Biarlah para petani garam cari pekerjaan alternatif dulu, karena cuacanya memang kurang menguntungkan buat petani garam. Kalau nanti cuacanya sudah stabil, mereka akan kembali berproduksi garam,” tururnya.
Lebih jauh Hasan menuturkan, melihat musim yang tak kunjung stabil, diperkirakan akan terjadi penurunan produksi garam. Biasanya memasuki bulan Juli, sebagian petani sudah mulai panen garam.
“Sekarang ini sudah bulan Juli, namun belum ada petani yang berani produksi garam. Jelas ini akan mengurangi produksi, karena biasanya bulan Juli sudah banyak petani garam yang mulai panen, tapi sekarang belum satupun petani yang berproduksi” terangnya.
Pantauan Koran Madura di Kalianget, beberapa petani garam yang ada di Sumenep, sebagian mulai bersiap-siap mengolah lahan garamnya, bahkan petani garam yang sebelumnya mencari pekerjaan sampingan, saat ini mulai turun ke lahan garapannya untuk memulai produksi garam, karena di daerah Sumenep sudah hampir satu minggu tidak turun hujan.
Sebelumnya, Senin (22/7), Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumenep Mohamad Jakfar mengatakan, bantuan pugar tetap akan dicairkan sekalipun petani garam ditengarai akan berkurang.
“Jika berbicara nasib petani garam saat ini, dengan cuaca yang tidak menentu, saya kira itu memang sudah ketentuan Tuhan. Dengan ini, bantuan tersebut tetap akan dilaksanakan kepada petani garam,” ujarnya kepada Koran Madura. (edy/sai/mk)