BOGOR-Bank Indonesia (BI) diminta agar tidak mempublikasikan hasil survei inflasi, sebelum Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan secara resmi angka inflasi. Pasalnya, rilis inflasi yang terlalu cepat akan mengganggu pasar dan memicu aksi spekulasi.
Permintaan tersebut disampaikan Kepala BPS, Suryamin di Bogor, Jawa Barat Sabtu (7/9). “BI supaya tidak mendahului hasil inflasi BPS. Ini mengganggu masyarakat dan pasar barang kali. Sebenarnya tidak ganggu kerja BPS. Tidak terlalu masalah sebenarnya kalau BI memperkirakan,” kata Suryamin.
BI kata dia kerap mempublikasi hasil survei harga komoditas terkait dengan besaran inflasi yang terjadi pada pekan kedua dan ketiga pada setiap bulannya. “Supaya tidak publikasi perkiraan inflasi lebih dulu ini, supaya jangan ada pihak-pihak yang berspekulasi,” ujar Suryamin.
Namun demikian, tegas Suryamin, langkah yang ditempuh bank sentral tersebut pada dasarnya tidak terlalu menjadi persoalan bagi kinerja BPS. “BI tidak perlu perkirakan-perkirakan, karena (data) kami lebih kuat. Tetapi, boleh saja,” imbuhnya.
Suryamin mengatakan, survei yang dilakukan BI untuk mendapatkan angka inflasi hanya terfokus pada 20 komoditas dan hanya diwakili oleh beberapa kota indeks harga konsumen (IHK). “Kalau kami mensurvei 740-an komoditas yang jauh lebih banyak dari BI. Kami mensurvei 66 kota IHK,” ucap Suryamin.
Bahkan lanjut dia, survei yang dilakukan BPS jauh lebih mendalam dan lebih tinggi tingkat keterwakilannya. “Dari tiap kota yang disurvei di pilih beberapa pasar. Ada aturan mainnya, pasar yang representatif. Pasar yang besar dan segala komoditas dijual di sana dan dibutuhkan masyarakat,” paparnya.
Suryamin menambahkan, survei BPS juga dilakasanakan dengan memantau harga di setiap pekan. “Kami ada survei minggu pertama, kedua dan survei minggu ketiga juga. Tidak terlalu masalah juga sebenar kalau BI memperkirakan,” kata Suryamin.
Peran Aktif
Menyinggung soal wacana pembentukan bank khusus, menurut Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, Adi Lumaksono berharap BI dan pemerintah bisa berperan aktif untuk membentuk bank pertanian. Adi mengatakan, hasil survei BPS yang menunjukkan rendahnya produktivitas hasil pertanian berkorelasi dengan sulitnya petani untuk mendapatkan permodalan.
Sehingga, lanjut dia, perlu adanya upaya mendorong terbentuknya bank pertanian untuk memudahkan akses petani ke bank. “Perlu itu adanya bank pertanian. Sebenarnya kan Bank BRI maunya melayani petani,” kata Adi.
Selama ini, jelas Adi, salah satu kendala utama yang dihadapi petani adalah terkait dengan permodalan. “Sebenarnya modal pertama petani itu dari bibit dan pupuk. Kalau mau modernisasi usahanya, modalnya juga tinggi lagi,” ujarnya.
Adi mangatakan, akses petani ke lembaga keuangan sangat terbatas, sehingga mereka akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan modal yang memadai. “Apalagi kalau seorang petani yang mempunyai lahan hanya 0,5 hektar. Mau pinjam uang di bank, pasti susah,” tuturnya.
Dia berharap, RUU Usaha Perbankan yang tengah digodok DPR bisa mengatur secara spesifik agar dibentuk bank khusus pertanian. “Tampaknya arah (pembahasan RUU) itu ada arah ke situ (pembentukan bank khusus). Mungkin itu baik, untuk melegalkan terbentuknya bank pertanian,” ujar Adi.
Namun demikian, jelas Adi, saat ini pun petani mempunyai peluang untuk lebih dekat ke bank, karena ada dua UU yang memungkinkan bagi petani untuk bisa mendapatkan permodalan dari lembaga keuangan. “Ada UU Pangan maupun UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani,” tegasnya. (gam/bud)