JAKARTA-Daya tahan perbankan nasional dalam menghadapi resiko krisis semakin berkurang. Hal ini terjadi karena semakin ketatnya likuiditas perbankan di Indonesia. “Kami mengkhawatirkan persoalan utama yang dihadapi perbankan saat ini, likuiditas. Itu seperti penyakit jantung yang bisa datang menyerang seketika,” ujar Ketua Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono, dalam seminar “ASEAN Economic Community 2015: Challenge and Opportunities for Banking Industri Base on Asean CG Scorecard,” di Jakarta, Rabu, (18/9).
Kendati demikian, dia mengaku kinerja industri perbankan secara umum saat ini dalam keadaan baik. Akan tetapi, perbankan perlu berhati-hati akan adanya kesulitan likuiditas sekarang ini. Pasalnya, ketersediaan likuiditas yang mumpuni menjadi penting bagi suatu bank melakukan ekspansi bisnis, terutama penyaluran kreditnya di waktu mendatang. “Daya tahan tiap bank berbeda-beda dalam menghadapi tekanan likuiditas yang mengetat,” imbuh dia.
Bank Indonesia (BI) sebelumnya juga telah menyatakan bahwa sejumlah bank telah “mengetok” untuk mendapatkan fasilitas pinjaman intrahari. Bank-bank tersebut meminta fasilitas pinjaman karena alami kekeringan likuiditas. “Kalau risiko kredit bermasalah (NPL) yang naik ada, tapi itu tidak akan naik seketika, bisa di restrukturisasi. Tapi kalau persoalan likuiditas ini dampaknya langsung kena ke perbankan,” tegas dia.
Untuk itu, Sigit berharap agar BI semakin intensif mengawasi kondisi perbankan secara individu. Hal ini bertujuan untuk mengetahui benar daya tahan tiap-tiap bank. “Regulator sekarang BI nanti OJK agar ada pengawasan secara individu bank, agar tidak terjadi krisis,” tandasnya. “Kalau bank-bank sudah tidak punya likuiditas, tapi dia harus membayar kewajibannya, maka akan terjadi gagal bayar (default),” tambah dia.
Lebih lanjut dia menilai, perbankan nasional belum siap untuk menghadapi era keterbukaan ekonomi di Asean pada 2015. Penyebabnya adalah tata kelola perusahaan atau Good Corporate Governance (GCG) belum baik. Karena itu, kesiapan perbankan menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) masih perlu ditingkatkan. Perbankan harus mengedepankan prinsip kehati-hatian dari sisi makroprudential, dan penerapan GCG.
Sigit mengatakan, untuk menghadapi momentum seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN, kesiapan yang dilakukan oleh industri perbankan dan regulator terkait dibidangnya menjadi penting. Pasalnya, selama ini Indonesia dikenal sebagai negara yang selalu kurang siap dalam menghadapi suatu momentum penting yang erat kaitannya dengan perekonomian Indonesia. “Berita buruknya bahwa sering sekali di dalam hal yang menyangkut kesepakatan internasional, termasuk ASEAN, Indonesia selalu menjadi negara yang tidak siap. Saya khawatir Indonesia tidak siap mempersiapkan MEA 2015 walau sebetulnya bagi perbankan di 2020″, kata Sigit.
Rente
Sementara itu, Menteri BUMN Dahlan Iskan melarang perusahaan pelat merah menjadi pemburu rente, dengan meminta bank untuk menaikkan suku bunga deposito. Institusi bisnis yang memiliki uang berlimpah, seperti BUMN, berpotensi untuk menyulut emosi petinggi bank untuk berlomba-lomba menaikkan suku bunga deposito. “BUMN, pemilik uang banyak tidak boleh saling memanasi atau saling menghasut bank untuk meninggikan bunga depositonya. Akibatnya, bunga menjadi tidak terkendali,” kata Dahlan di Jakarta, Rabu (18/9).
Untuk mencegah itu, Dahlan telah membentuk tim yang akan mengatur mengatur mekanisme penyimpanan dana BUMN di bank.
Bersamaan dengan itu, dia juga meminta BUMN perkebunan untuk mengekspor sendiri produknya, tanpa menggunakan pihak ketiga. Ini untuk mencegah agar rupiah tidak terus melemah. “BUMN yang menghasilkan kelapa sawit yang tidak ekspor dan dijual ke pihak ketiga nanti bisa ekspor sendiri dan mendapatkan dolar Amerika Serikat lagi,” katanya. (gam/abd)