PAMEKASAN – Menjadi TKI di luar negeri masih jadi pilihan bagi sebagian masyarakat di Kabupaten Pamekasan. Sayangnya, dari sekian banyak TKI asal wilayah itu yang ada di luar negeri, hanya bekerja di sektor informal, sebagai pembantu rumah tangga (PRT).
Peminat TKI masuk cukup tinggi, terbukti pada awal tahun 2014 ini sudah ada sekitar tujuh orang yang mendaftar sebagai tenaga kerja ke luar negeri melalui jalur resmi (legal). Mereka sudah dinyatakan siap diberangkatkan pada awal Februari mendatang. Enam dari tujuh orang calon TKI itu merupakan warga dari Kecamatan Palengaan dan akan bekerja di Abudabi. Sedang satu orang lainnya asal Desa Laden, Kecamatan Pamekasan, akan bekerja di Taiwan. Seluruh calon TKI itu akan bekerja sebagai PRT.
Tahun lalu warga Pamekasan, yang menjadi TKI juga banyak yang menjadi PRT. Hanya sebagian kecil dari mereka yang bekerja di sektor formal atau di perusahaan.
Kepala Bidang Pelatihan Perluasan dan Kesempatan Kerja (Pentakerja) Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Dinsosnakertran), Supardi mengatakan mereka memilih sebagai PRT karena keterbatasan keterampilan yang dimiliki. Kebanyakan dari mereka tingkat pendidikannya lulusan Sekolah Dasar (SD).
Menurutnya, instansinya telah sering melakukan penyuluhan dan pelatihan di desa yang mayoritas yang merupakan kantong TKI di Pamekasan untuk mengurangi jumlah TKI yang akan bekerja di sektor informal. Namun, sejauh ini upaya tersebut masih belum membuahkan hasil. Bahkan menurutnya, mereka tidak mempermaslahkan jenis pekerjaan saat di luar negeri. Sebab yang terpenting bagi mereka setelah sampai di negsara tujuan cepat mendapatkan pekerjaan dan penghasilan.
”Setidaknya, dengan penyuluhan itu, mereka menunda keinginan mereka untuk menjadi TKI hingga memiliki tingkat pendidikan yang memadai atau dengan bekal keterampilan yang dimiliki, mereka bisa membuka usaha di tempat tinggalnya atau meski menjadi TKI mereka bisa bekerja bukan sebagai pembantu rumah tangga,” katanya.
Selama ini, kasus-kasus yang banyak menimpa TKI, terjadi pada sektor informal. Sebab di sektor tersebut nyaris tidak ada pengawasan yang memadai dan kebanyakan tidak diikat dengan kontrak kerja. Dari data pada Dinsosnakertrasn setempat pada tahun 2013 lalu ada 30 TKI asal Pamekasan yang berangkat melalui jalur resmi, dari jumlah itu hanya sebagaian kecil saja yang bekerja di perkantoran dan perusahaan.
Wakil Ketua DPRD Pamekasan, Khairul Kalam mengatakan banyaknya warga asal Pamekasan yang memillih bekerja di luar Pamekasan, baik di luar pulau maupun luar negeri, salah satunya karena ketidakberhasilan pemerintah dalam menyejahterakan warganya yang mayoritas petani.
Akhirnya, mereka menganggap lahan pertanian yang dimiliki sudah tidak bisa diandalkan sebagai sumber penghidupan yang layak. “Tembakau sudah tidak bisa diandalkan dan seringkali memposisikan mereka sebagai pihak yang tidak berdaya menghadapi sistem tata niaga yang tidak jelas dan berakibat pada kerugian akibat harganya murah,” ungkapnya.
Untuk itu, ia berharap pemerintah setempat mencarikan solusi dengan mencari terobosan yang menguntungkan petani. Setidaknya dicarikan bentuk tanaman yang lebih menguntungkan dibanding tembakau dan cocok untuk lahan pertanian di Madura. “Saya yakin itu bisa. Jepang yang tanahnya secara akal tidak bisa ditanami karena gersang setelah terkena bom atom, justru menjadi pengekspor sayuran dan padi,” katanya.