JAKARTA-Juru Bicara Tim Pemenangan Jokowi-Jusuf Kalla, Ferry Mursyidan Baldan menegaskan substansi persoalan yang terjadi di Hongkong terletak pada sekitar 500 sampai sejuta orang pemilih tidak bisa memberikan hak suaranya.
“Jangan larikan substansi. Yang terjadi kan ada 500 warga negara kita di Hongkong belum mendapat hak konstitusi, menggunakan hak suaranya,” tegas Politisi Partai Nasdem ini di Media Center JKW4P, Jalan Cemara, Jakarta, Senin (7/7).
Hal ini ditegaskan Ferry untuk menanggapi Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Muhammad, terkait kekisruhan pemilihan presiden yang berlangsung Minggu (6/7) di Victoria Park, Hongkong.
Karena itu, menurutnya, yang segera harus dilakukan adalah bagaimana hak konstitusi warga negara di Hongkong, sekitar 500 suara tidak dihilangkan hanya karena alasan-alasan akibat kelemahan penyelenggara pemilu. “Apapun alasan yang dipakai 500 warga negara yang belum mendapat hak. Selesaikan 500 orang itu. Undang datang lagi kasih kesempatan mereka gunakan hak suara,” kata Ferry.
Hal senada juga disampaikan tim pemenangan Jokowi-JK, Aria Bima. Menurutnya, hal yang terjadi adalah adanya 500 warga negara masih belum menyalurkan hak konstitusinya.
Karena itu, kata Politisi PDI Perjuangan ini, di tengah waktu yang masih ada, pihak KJRI Hongkong harus memfasilitasi penyelenggaraan pemilun presiden lanjutan di kompleks KJRI.
“500 warga negara itu difasilitasi kedutaan, Konjen. Kemudian, berikan keputusan KPU secepat mungkin untuk dilakukan pencoblosan lanjutan. Kalau di konjen 500 orang bisa dilakukan pemilihan Presiden. Pemerintah wajib memfasilitasi rakyat untuk menggunakan hak suaranya. Bukan malah sebaliknya,” katanya.
Media Sosial Twitter ramai membincangkan kisruh pelaksanaan pemungutan suara Pilpres di Hongkong Minggu (6/7) kemarin.
Kisruh diduga muncul lantaran sebagian WNI yang datang untuk memberikan suara tidak bisa merealisasikannya. Belum jelas alasan apa yang menyebabkan pemberian suara itu urung dilanjutkan.
Kicauan sejumlah akun di Twitter menuding Sigit Pamungkas sebagai biang kerok urungnya sebagian WNI memberikan hak memilih mereka.
Sebagaimana diketahui, pemungutan suara di Hongkong ini dihadiri oleh 2 orang Komisioner KPU; Sigit Pamungkas dan Juri Ardianto. Selain itu ada pula Ketua Bawaslu, Mohammad.
Ironis memang bahwa kehadiran 3 orang penyelenggara pemilu pusat justru menyisakan masalah terbengkelainya hak WNI dalam memberikan suara untuk pilpres. Padahal KPU sebagai institusi mandiri dalam pemilu mestinya menjadi tumpuan harapan bagi warga negara dalam menggunakan hak untuk memilih. “Ketika KPU dan Bawaslu tak bisa diharapkan untuk itu, sesungguhnya kita tengah menggadaikan proses pemilu ini pada tangan penyelenggara yang tidak becus,” ujar peneliti Formappi, Lucius Karus di Jakarta, Senin (7/7).
Untuk itu, KPU harus bertanggung jawab atas terabaikannya pemberian suara WNI di Hongkong. Sigit dan Juri harus menjelaskan secara jujur apa yang terjadi di tempat pemungutan suara di Hongkong.
Selain itu, kehadiran Ketua Bawaslu mestinya tak merepotkan kita untuk mencari tahu apa yang terjadi. Sebagai pengawas pemilu, mestinya publik di Indonesia maupun warga negara di Hongkong bisa mendapatkan kejelasan tentang masalah yang terjadi sekaligus langsung mengambil tindakan jika ada dugaan pelanggaran. “Dan jika Mohammad tak melakukan sesuatu, kemungkinan bahwa dia lalai menjalankan tugasnya sebagai pengawas pemilu. Bisa juga, Mohammad diduga “sekelompok-permainan” dengan Sigit yang diduga menjadi biang kerok kisruh pilpres di Hongkong,” urainya.
Jika dugaan karena sikap tidak netral penyelenggara, dalam hal ini Sigit Pamungkas, maka harus ada tindakan tegas terhadapnya. Pemecatan lebih baik dilakukan sebelum tanggal 9 Juli, agar publik di dalam negeri masih percaya dengan penyelenggaraan pemilu sekaligus tertarik memberikan suara.
Tindakan penyelenggara pemilu yang dengan sengaja mengabaikan hak pilih WNI merupakan kejahatan serius. Karenanya kasus di Hongkong harus diselesaikan dalam satu hari ini, khususnya meminta pertanggung jawaban komisioner yang turut serta menyaksikan atau menjadi panitia penyelenggara di tempat itu. “Jika terbukti ada pernyataan atau sikap tidak netral yang diperlihatkan oleh Sigit, maka kita harus mengatakan bahwa pilpres 2014 sudah terancam tidak legitimate,” pungkasnya.