Oleh : MH Said Abdullah*
Meresapi makna kemerdekaan bagi sebagian besar generasi muda mungkin belum sampai taraf kesadaran betapa tinggi nilainya. Pengalaman hidup saat negeri ini terbelenggu penjajahan atau paling tidak ketika baru merdeka tak dirasakan sehingga kenikmatan kemerdekaan terasa biasa.
Anak-anak muda Palestina yang saat ini dibombardir zionis Israel sangat mungkin merasakan betapa kemerdekaan sangat bernilai. Mereka merasakan betapa pahit kehidupan dalam belenggu tekanan kekuatan bangsa lain; berada dalam berondong senjata, kehidupan jauh dari rasa aman serta kebutuhan hidup sehari-hari sulit diperoleh. Hakekat kemerdekaan memang akan lebih mudah dirasakan mereka yang pernah terbelenggu pahitnya penjajahan. Benar ungkapan populer yang mengatakan bahwa mereka yang tak pernah menderita sulit merasakan penderitaan orang lain.
Di sinilah terbentang persoalan bagaimana memaknai kemerdekaan di era modern seperti sekarang ini terutama bagi generasi muda yang lahir praktis sudah jauh dari gemuruh perjuangan merebut kemerdekaan. Bahwa kemerdekaan secara normatif memang merupakan situasi bebas dari belenggu penjajahan yang seharusnya dijaga, dipelihara dan diisi kerja keras bagi kepentingan kesejahteraan seluruh anak negeri.
Mengapa perlu dijaga? Karena kemerdekaan tak mudah meraihnya dan tentu saja yang terpenting mewaspadai kekuatan lain yang tak ingin negeri ini bergerak maju mengisi kemerdekaan, meningkatkan kemandirian demi kesejahteraan rakyat. Selalu ada kekuatan ingin kembali membelenggu bangsa ini dalam bentuk lebih halus dengan cara membiarkan kemerdekaan normatif namun membelenggu bangsa melalui ketergantungan dalam segala hal. Normatif merdeka tetapi tak ada kemandirian, perjalanan bangsa selalu tergantung kepentingan kekuatan negara lain.
Neokolonialisme atau penjajahan baru, diam-diam mudah menyelusuf sehingga kemerdekaan jauh dari dinikmati seluruh rakyat negeri ini. Kemerdekaan formal hanya menghasilkan kenikmatan bagi segelintir orang, yang diam-diam menggadaikan potensi kekayaan negeri ini. Kemerdekaan akhirnya sekedar simbolik namun hak-hak rakyat untuk menikmati kesejahteraan terbelenggu ketergantungan pada kekuatan negara lain.
Peringatan Bung Karno pada Pidato Hari Kemerdekaan tahun 1950, rasanya masih sangat relevan dibentangkan untuk Indonesia modern saat ini. Betapa kemerdekaan bukanlah sekedar sebuah upaya melepaskan diri dari belenggu formal penjajahan. “Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segi tiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita belum selesai ! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat.”
Dalam berbagai kesempatan Bung Karno juga sering menegaskan tentang kemandirian bangsa ini di samping kerja keras bagaimana membebaskan rakyat dari gubuk-gubuk penderitaan. Ada pesan tegas luar biasa agar bangsa ini “mengisi” karunia kemerdekaan pada subtansinya yang antara lain tercermin kemandiriaan dan kesejahteraan rakyatnya. “Negeri ini jangan hanya merdeka dari tapi juga untuk….” kata Josep Jakoep, anggota DPR RI, seorang kawan yang sudah menghadapNya. Sebuah untaian kata yang ingin menyegarkan ingatan tentang pernyataan Bung Karno, bahwa pekerjaan kita belum selesai.
*Anggota DPR RI, asal Madura