PAMEKASAN– Perda/6/2008 tentang Tata Niaga Tembakau, yang seharusnya berpihak pada petani, dalam realitanya justru kurang mampu membantu para petani.
Buktinya, meski sudah ada Perda tersebut sejak lima tahun silam, harga jual tembakau tetap anjlok, tak sesuai harapan petani. Perda tak ubahnya macan ompong. Tidak ada dan adanya Perda, sama saja, tak ada perkembangan yang signifikan bagi para petani tembakau di Pamekasan. Bahkan salah satu petani tembakau asal Desa Potoan Laok, Kecamatan Palengaan, Tabri (30) mengatakan Perda tersebut malah mencekik petani.
Mereka kembali gigit jari, karena tak bisa menikmati hasilnya dengan maksimal, dari tembakau yang ditanamnya. Padahal musim tembakau ini adalah musim andalan bagi mereka, musim yang selalu ditunggu-tunggu dalam tiap tahunnya. Harapannya setelah memanen tanaman tembakaunya, kemudian dijual, mereka akan mendapatkan uang banyak dan bisa menyambung hidup dengan normal hingga sampai lagi di musim tembakau tahun yang akan datang.
Karena harapan para petani yang besar terhadap tanaman tembakau ini, daun tembakau itu disebutnya sebagai daun emas. Namun sebutan itu sekarang sudah tidak berlaku lagi, karena harga tembakau yang terus anjlok. Barangkali daun emas telah menjadi daun sampah. Demikian pula perda tata niaga tembakau menyerupai lembaran-lembaran kitab suci yang tak tersentuh sama sekali di atas meja.
Dia mengatakan demikian, dengan penjelasan bahwa salah satu pasal di Perda tersebut malah seolah-olah merampok hak petani. Pasal yang dimaksud adalah pasal 21 ayat 1, yang isinya, dalam pelaksanaan jual beli tembakau, korporasi atau perorangan memberikan sumbangan pihak ketiga kepada pemerintah daerah sebesar Rp 100 perkilogram, dari jumlah pembelian tembakau. Artinya menurut Tabri, dari hasil jual tembakaunya, petani harus menyetorkan uang Rp 100 ke Pemkab, dari setiap satu kilogram tembakau yang laku. Hitungannya tinggal Rp 100 dikalikan berapa kilo, atau berapa kwintal, atau berapa ton, petani itu menjual tembakaunya ke pabrikan atau gudang.
“Memang dalam pasal itu dikatakan jika pihak ketiga yang memberikan ke Pemkab. Pihak ketiga ini adalah pabrikan atau gudang. Pasti pabrikan itu akan membebankan Rp 100 perkilo itu kepada pemilik tembakau (petani). Pabrikan pasti tidak mau rugi. Petani juga yang dikorbankan,” ucap Tabri kemarin (14/8).
Dia mencotohkan tahun ini para pabrikan rokok yang ada di Pamekasan membutuhkan total sekitar 24.000 ton tembakau Pamekasan. Dengan demikian, 24.000 ton sama dengan 24.000.000 kilogram dikalikan Rp 100, ditemukan angka Rp 2,4 miliar yang akan disetorkan pabrikan kepada Pemkab. Tabri menegaskan, uang Rp 2,4 miliar itu adalah uang petani yang dirampok Pemkab. Tabri merasa heran, kenapa selama ini pasal tersebut dibiarkan, tidak ada yang mengkritisi, termasuk lagislatif juga diam saja.
Menanggapi hal ini, dengan Pemkab seolah-olah dikatakan merampok uang petani, yang dilegalkan dalam wujud salah satu pasal di dalam Perda tersebut, Sekda Pamekasan Alwi Beiq mengatakan pihaknya tidak merasa merampok uang petani. Karena tidak merasa merampok, dia menegaskan tidak perlu menanggapi panjang lebar hal tersebut. Dia hanya menegaskan pemkab tidak melakukan perbuatan perampokan. Akan tetapi dia membenarkan dan mengiyakan adanya pasal itu dan bunyinya memang seperti itu. Namun, pasal 21 ayat 1 ini, menurut Alwi, sejak Perda itu berlaku belum pernah terealisasi.
“Dan Perda itu kini dalam proses revisi. Termasuk pasal tersebut akan dihilangkan. Perda yang baru nanti akan lebih memihak kepada petani tembakau,” paparnya.
Terkait harga tembakau yang cenderung murah ini. Alwi selaku pihak Pemkab menyatakan jika Pemkab tidak bisa mengintervensi pihak pabrikan. Harga tembakau memang ditentukan pihak pembeli atau Pabrikan. Pemkab tidak bisa ikut campur. Sebab tembakau ini tidak termasuk dalam sembilan bahan pokok. Jika untuk sembilan bahan pokok, Pemkab masih mempunyai andil untuk menetukan harga. Untuk tembakau ini adalah komoditas bebas, yang harganya ada standar tersendiri di pihak pabrikan, Pemkab tidak bisa ikut campur. Hanya saja Pemkab akan terus berusaha merayu dan meminta pihak pabrikan agar membeli tembakau petani Pamekasan dengan harga yang layak, bukan dengan harga yang murah.