SUMENEP – Sebagian petani garam mengalihfungsikan lahannya menjadi tambak ikan, seperti yang dilakukan petani garam di Kecamatan Dungkek. Hal itu dilakukan karena sejak beberapa tahun terakhir, harga garam di bawah harga pokok pembelian (HPP).
Berdasarkan informasi yang dihimpun Koran Madura, dari 20 kelompok petani garam di Kecamatan Dungkek, sekitar 16 kelompok lahan pegaramannya sudah dialihfungsikan menjadi tambak ikan.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (KKP) Sumenep Moh. Jakfar mengaku telah mengetahui hal itu. “Ya benar, dari 20 kelompok hanya tinggal 4 kelompok yang tetap melakukan produksi garam,” katanya, Selasa (23/9).
Menurut Jakfar, dirinya tidak bisa memaksakan diri untuk menekan petani agar tetap memproduksi garam seperti biasanya. “Walaupun kami yang membidangi, tidak bisa memaksa keinginan petani. Apalagi, saat ini harga garam selalu berada di bawah ketentuan pemerintah,” terangnya.
Kendati demikian, pihaknya mengaku akan selalu memberikan pembinaan terhadap petani. Baik, petani yang masih memproduksi garam maupun petani garam yang telah mengalihfungsikan lahannya menjadi tambak ikan.
“Kami tetap akan melakukan pembinaan, baik tentang tata cara membudidaya ikan maupun memproduksi garam yang baik. Sehingga pilihan alternatif warga bisa menghasilkan yang baik dan tidak selalu merugi,” terangnya.
Ketua Persatuan Garam Rakyat Sumenep Moh Hasan, berharap agar pemerintah menindak tegas perusahaan yang tidak membeli garam rakyat sesuai dengan HPP. Sebab, jika tidak, lahan garam di Sumenep akan semakin sempit. ”Kalau ada aturan tapi tidak dilaksanakan, itu artinya harga di atas kertas” singkatnya.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sumenep Syaiful Bahri mengaku kesulitan untuk melakukan pengecekan di lapangan. Sebab, walaupun kualitas garam milik petani bagus, namun pengusaha tetap membeli garam dengan harga di bawah HPP, yakni sekitar Rp 450 ribu per/ton. ”Mereka melaporkan jika pembelian garam milik petani sesuai dengan HPP,” kata mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) itu.
Tidak sesuainya realita dan fakta itu, kebanyakan pengusaha garam berdalih pembelian garam di kalangan petani dihitung dengan pembiyaan yang dikeluarkan oleh pengusaha, seperti halnya biaya transportasi dan juga biaya pemeliharaan garam selama berada di gudang. Sehingga, ketika dikalkulasi harga garam milik petani tetap mengacu terhadap HPP yang ada, yakni untuk garap KW 1 sebesar Rp 750 ribu dan K2 550 ribu.
Oleh sebab itu, dirinya sebagai leading sector yang menangani harga garam, berjanji akan terus berupaya untuk meningkatkan kualitas garam rakyat dengan sistem kendali mutu, agar para petani tidak cuma mengejar jumlah garam yang dipanen, tapi kualitasnya juga bisa dijaga dan ditingkatkan. ”Kita akan tetap upayakan agar harga bisa sesuai HPP, termasuk kualitas bisa ditingkatkan” tukasnya. (JUNAEDI/MK)