SUMENEP – Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan (Kadispertan) Kabupaten Sumenep, Bambang Heriyanto me-ngakui, sekitar 300 hektare sawah baru yang dicetak pada tahun 2013 lalu di wilayah kepulauan masih belum berfungsi maksimal. Hal itu dipicu oleh cara bertani sebagian warga yang masih cenderung tradisional.
Menurut Bambang, cara warga menggarap sawah yang dicetak tahun 2013 lalu di Kepulauan Arjasa seluas kurang lebih 250 hektare dan Kangayan 50 hektare masih tergolong tradisional. “Petani kita masih terbatas sarana dan prasarana,” terangnya, Minggu (12/4).
Bambang menilai, dengan pengolahan sawah secara tradisional, lahan baru itu tidak akan banyak memproduksi padi. Produksi padi yang akan dihasilkan hanya sekitar 4 ton per haktare tiap kali panen. “Hal itu berbeda dengan di daratan yang sudah mulai modern, tiap hektare bisa memproduksi antara tujuh sampai delapan ton tiap panen,” ungkap Bambang.
Untuk itu, ia mengungkapkan pihaknya akan memberikan bantuan handtractor sehingga masyarakat bisa menggarap sawahnya dengan pola yang lebih modern. Selain itu, ia mengaku juga akan membangun embung besar. “Agar lahan itu benar-benar dihijaukan oleh masyarakat,” imbuhnya.
Sementara untuk mencetak sawah baru di daratan, menurut Bambang sulit dilakukan. Pasalnya, untuk bisa mencetak sawah, ada beberapa mekanisme yang harus dilakukan. Salah satunya, harus mencari lahan tidur, yaitu lahan yang tidak pernah digarap selama lima tahun lamanya.
Hanya saja, untuk mencari lahan tidur, ia mengaku sulit mendapatkannya di wilayah daratan. Bahkan, ia mengaku sudah melakukan survei di delapan belas kecamatan. “Jadi tidak bisa langsung asal cetak sawah. Harus mencari lahan tidur. Mana ada di wilayah daratan lahan tidur,” paparnya.
Meski begitu, sergahnya, sebenarnya di wilayah daratan ada lahan yang bisa dijadikan sawah baru, yakni di Desa Nambakor, Kecamatan Saronggi. Hanya saja, dia tak yakin di wilayah tersebut dapat dijadikan sawah yang bisa ditanami padi. “Karena wilayah itu merupakan rawa,” pungkasnya.
(FATHOL ALIF)