PAMEKASAN – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Madura, Jawa Timur, melakukan advokasi kepada Nenek Astina (77), yang menjadi korban penipuan oleh oknum warga di Desa Larangan Badung, Kecamatan Palengaan, sehingga korban terpaksa hidup di rumah para tetangganya.
“Kami merasa terpanggil untuk membantu melakukan advokasi itu, karena warga itu selama ini hidupnya kayak gelandangan, gara-gara menjadi korban penipuan. Sedangkan ia hidup sebatang kara,” kata Ketua YLBH Madura, Sulaisi, Selasa.
Nenek Astina, yang kini harus terusir dari rumahnya sendiri itu merupakan warga miskin dari Dusun Sumber Papan II RT003 RW004 Desa Larangan Badung, Kecamatan Palengaan, Pamekasan, sedangkan terduga bernama Moneri alias Moniri (52), warga desa setempat, masih tetangga korban.
Kasus dugaan penipuan ini berasal saat Moniri pada tanggal 30 September 2001 menjual sebidang tanah miliknya di Dusun Sumber Papan II RT003 RW004, Desa Larangan Badung, Kecamatan Palengaan, seharga Rp1.500.000 dengan pembayaran secara langsung dan tunai, diketahui oleh Kepala Desa Larangan Badung Moh Makruf dan disaksikan oleh beberapa orang saksi, antara lain Sunarya, Sitti Fatima, dan Taprawi.
“Harga tanah Rp 1.500.000 kala itu merupakan harga yang layak untuk ukuran tanah desa yang tidak terlalu produktif. Kalau dikurskan ke emas dan dijual saat ini sekitar Rp30 jutaan,” kata Sulaisi.
Setelah membeli tanah itu, Astina lalu membangun rumah di atas sebidang tanah yang dibelinya itu. Lokasinya berdekatan dengan rumah Moneri.
Awalnya, Astina merupakan orang yang mampu. Ia merupakan pedagang sukses di tempat perantauannya di Jawa, hingga mampu menunaikan ibadah haji.
Astina memutuskan pulang ke Pamekasan, Madura, karena ia ingin menghabiskan sisa usianya di kampung halamannya dengan membeli tanah dan membangun rumah.
Selama kurun waktu 2001 hingga 2013, Astina memang tidak pernah bermasalah dengan tetangganya Moneri. Pada 2014, ia berencana hendak mengurus akta tanahnya, atas saran beberapa pihak yang mengerti tentang status kepemilikan tanah.
Pada 31 Maret 2014, nenek sepuh ini akhirnya bermusyawarah dengan dengan aparat desa setempat mengenai jual beli tanah tersebut bersama penjualnya Moneri yang diketahui oleh Kepala Desa Larangan Badung Musaffak, Kasdi (suami korban), Asmarah dan Moneri (pelaku), serta dua orang lainnya yang merupakan kerabat Moneri dan tetanggga Astina, yakni Siti Fatima, dan Abd Rahman.
Selanjutnya pada tanggal 21 Agustus 2014, juru ukur dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pamekasan datang ke lokasi tanah yang ditempati bangunan milik Astina itu, namun Moneri justru menolaknya.
“Si Moneri ini bahkan mengatakan Astina tidak punya hak atas tanah tersebut dan meminta agar Astina meminta rumah bangunan yang berdiri di atas tanah yang dulu dibelinya itu,” terang Sulaisi.
Tindakan Moneri tidak hanya sampai di situ, namun juga sering menyampaikan kata-kata lantang yang mengganggu ketenangan nenek Astina.
Sulaisi menjelaskan dalam akta jual beli yang ditandatangani kedua belah pihak yang disaksikan oleh aparat Desa Larangan Badung itu dijelaskan, bahwa luas tanah yang dijual oleh Moneri kepada nenek Astina itu 500 meter persegi. Tapi faktanya tidak sampai 200 meter persegi.
Sejak kejadian itu nenek Astina terusir dari rumahnya. Perempuan berusia 77 tahun ini selalu numpang tidur di rumah tetangga lainnya. “Saya takut tidur di rumah dan merasa tidak tenang, karena Moneri sudah mengusir saya, agar meminta rumah yang saya tempati itu. Darimana saya dapat biaya, lha wong saya sudah tua seperti ini,” ucapnya dengan suara lirih.
Ketua YLBH Madura Sulaisi menuturkan sebenarnya aparat desa setempat telah berupaya menyelesaikan persoalan itu dengan bukti akta jual beli tersebut, namun Moneri tidak mengindahkan hal itu, dan tetap bersikukuh untuk mengusir nenek Astina.
(ANT/AZIZ/RAH)