
PROBOLINGGO, koranmadura.com – Mutasi pejabat dilingkungan Pemerintah Kota Probolinggo yang digelar Walikota Hj. Rukmini, Jum’at (19/6) pagi kemarin, kembali dikritisi sejumlah kalangan. Mutasi pejabat eselon II dan III itu masih dinilai tidak profesional karena masih ada pejabat yang ditempatkan tidak sesuai dengan latar belakang ilmu yang dimilikinya.
Alasan yang disampaikan Walikota Hj. Rukmini bahwa mutasi untuk penyegaran seperti yang sering dikatakan dalam setiap pelaksanaan mutasi nampaknya perlu dipertanyakan. Sebab banyak pejabat yang dimutasi justru belum lama bahkan baru hitungan hari saja menduduki jabatan itu sudah dipindahkan.
Seperti mutasi yang menimpa Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Teguh Bagus Sudjawanto. Ia baru sekitar delapan belas hari menduduki jabatan itu namun kini sudah dimutasikan lagi ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil), dan drg. Ninik Ira Wibawati sebagai Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB, dikembalikan menjadi Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Probolinggo menggantikan posisi dr. Nurhasanah.
Pejabat Esselon II lainnya yang dimutasi adalah Sofyan Thohari yang menjabat Kepala Dispendukcapil bergeser menjadi Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB, Nurhasanah menjabat sebagai staf ahli bidang Kemasyarakatan dan Sumberdaya Manusia. Kemudian pejabat esselon III yang dimutasi adalah Anwar Fanani yang menjabat sebagai Kabag Kesra, Agus Effendi menjabat Kabag Humas dan Protokol, dan Sariadi menjabat Camat Kedopok.
Kompetensi, pendidikan, dan rekam jejak calon pejabat dalam hasil lelang pejabat malahan diabaikan seperti yang terjadi pada Teguh Bagus Sudjawanto yang hitungan hari di lantik jadi kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) sekarang dikembalikan lagi kepada Didik Sudignyo.
“Ini membingungkan sekali, apa¬lagi bagi yang bersangkutan. Kita berharap pernyataan wali¬kota yang selalu digembor-gem¬¬bor¬kan kalau menem¬pat¬kan orang yang selalu tepat,” ucap Hartono, Ketua FK LPM Kecamatan Kedopok, kepada wartawan, Minggu (21/6).
Ia juga mengusulkan mu¬tasi juga harus terbuka melalui tim seleksi yang ada. Kalau perlu melalui ujian kom¬peten¬si, ka¬rena kemajuan Kota Probolinggo juga terletak di tangan pembantu walikota. “Ini me¬mang ke¬bijakan dan wewenang wa¬¬likota, tapi jangan sampai ke¬-wenangan it¬u merugikan ma¬sya¬rakat ka¬rena lambatnya pem¬bangunan,”tandasnya.
Selain itu, kebijakan mutasi yang dilakukan Walikota tidak mengedepankan profesionalisme dan terkesan suka dan tidak suka((like and dislike). Bahkan masih melihat adanya pejabat yang diberikan jabatan namun tidak sesuai dengan latar belakang keilmuannya hingga dikhawatirkan pejabat tersebut tidak akan bisa memahami dan melaksanakan tugasnya dengan baik.
Terlalu cepatnya pejabat dimutasikan akan menimbulkan ketidak tenangan dalam bekerja bagi pejabat itu sendiri, selain itu pejabat yang bersangkutan tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan kinerjanya .
“Kapan pejabat itu mau menunjukkan kinerjanya, kalau baru beberapa hari saja menjabat sudah dipindahkan lagi, selain itu akan menimbulkan dampak psikologis bagi pejabat lainnya yang akan menyebabkan pejabat tersebut tidak tenang dalam bekerja,”kata Hartono.
Merusak Iklim Kerja dan Kinerja
Ditubuh internal Pemkot sendiri, kebijakan Walikota tersebut membingungkan para staf dan bawahannya. Mereka menilai, langkah mutasi dan rotasi yang sering dilakukan telah merusak iklim dan irama kerja dan kinerja.
“Bagaimana mau bekerja maksimal, baru duduk delapan belas hari sudah harus pindah lagi ke dinas lain, saya malah jadi bingung,” kata salah seorang staf di salah satu dinas.
Sejumlah pejabat dipindah tugaskan itu, kata dia, baru menjabat kurang dari tiga Minggu. Seharusnya harus bisa mengukur masing-masing pejabat yang dilantik dengan mempertimbangkan pengalaman hasil mutasi sebelumnya yang diklaim melalui fit and proper test hasil lelang jabatan. Sehingga Walikota tak lagi ceroboh melakukan mutasi dan rotasi pejabat tersebut.
“Jika mutasi kemarin dilakukan melalui fit and proper test dan hasil lelang pejabat, lalu sekarang dilakukan lagi mutasi, ini tentu menimbulkan pertanyaan,” tandasnya.
Sebagai bawahan tidak bisa berbuat banyak, kendati diakuinya sudah tiga kali dalam setahun terkena rotasi jabatan tersebut. Seringnya mutasi dan rotasi di lingkungan Pemkot Probolinggo, dapat memunculkan kesan buruk terhadap Walikota, sebagai pemegang kebijakan.
“Seringnya mutasi dan rotasi dapat berdampak pada kinerja pelayanan. Pejabat tentunya akan bekerja kurang optimal, bahkan setengah hati karena khawatir akan dimutasi kembali,”terangnya.
Mestinya, kalaupun ada pejabat yang belum lama menduduki jabatan kemudian dipindahkan. Ia menduga ketidakberesan dalam setiap mutasi dikarenakan Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) yang diketuai oleh Sekretaris Daerah (Sekda) tidak difungsikan.
Mutasi jabatan selain untuk mengisi kekosongan jabatan adalah dalam rangka penyegaran agar tidak jenuh dalam bekerja. Pegawai yang dimutasikan dapat meningkatkan kinerjanya dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
“Tentunya mutasi ini dalam rangka mengisi kekosongan jabatan agar roda pemerintah dapat berjalan efektif, sekaligus meningkatkan kinerja pegawai pemerintah dalam melayani masyarakat. Dan tujuan mutasi ini juga sekaligus sebagai penyegaran kepada para pegawai agar tidak jenuh bekerja,”paparnya.
(M. HISBULLAH HUDA)