Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menerima hasil pahit menghadapi gugatan praperadilan tersangka kasus korupsi. Kali ini, lembaga antirasuah itu kalah dalam praperadilan yang diajukan mantan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hadi Poernomo (26/5/15).
Dua orang sebelumnya adalah Komjen Budi Gunawan dan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin. Tentu, preseden buruk ini menjadi sebuah lonceng buruk bagi pemberantasan korupsi yang semakin susah dijalankan di republik tercinta ini. Tatkala semua elemen sosial berteriak lantang untuk membangun bangsa yang bersih dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga antirasuah hadir untuk pemberantasan korupsi, ternyata banyak saja yang merasa geram dan marah atas keberadaan KPK yang memiliki kewenengan super lebih dan berlebihan tersebut. Kewenangannya yang sangat sakti mandra guna kemudian menjadi ruang untuk menembak siapapun yang memiliki aroma korupsi.
Pertanyaannya adalah bagaimanakah nasib KPK ke depan? Apakah semakin berada dalam kondisi gelap gulita yang kemudian kehilangan kewibawaan dan keberaniannya dalam konteks pemberantasan korupsi? Dengan kata lain, setiap tersangka yang ditetapkan oleh KPK kemudian bisa dipertanyakan keabsahannya secara hukum melalui kacamata praperadilan. Ini semakin membuktikan bahwa KPK tidak bisa berkutik sama sekali ketika dilakukan praperadilan walaupun tidak semua tersangka yang mengajukan praperadilan kemudian diloloskan oleh pengadilan. Apa yang kemudian terjadi ini selanjutnya semakin memojokkan KPK dalam konteks pemberantasan korupsi. Ke depan yang terjadi selanjutnya adalah gerakan pemberantasan korupsi akan kehilangan pamornya dan akan menjadi tak bermakna secara konstruktif serta dinamis bagi perjalanan hidup bangsa ke depan. Diakui maupun tidak, persoalan mendasar atas perilaku tersangka yang mengajukan praperadilan terlepas kemudian berakhir lolos dan tidak akan membangun sebuah persepsi negatif bagi KPK untuk kemudian dapat bekerja secara lebih berani dan tegas.
Ancaman di Depan Mata
KPK benar-benar siap dimatikan dan itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan kondisi KPK saat ini. Keberlangsungan masa depan KPK dalam konteks pemberantasan korupsi berada di titik nadir yang tentunya tidak memberikan kepuasan bagi kepentingan hajat hidup orang banyak. KPK dihajar habis-habisan secara taken for granted. Kondisi semacam ini menjadi ancaman di depan mata, tidak hanya bagi KPK sendiri sebagai lembaga antirasuah dengan kewenangan super bodinya, namun juga bagi seluruh rakyat Indonesia yang memiliki harapan dan keinginan tinggi bagi bersihnya bangsa ini dari korupsi dan koruptor. Selain itu, harapan seluruh rakyat agar KPK bisa menyelamatkan uang negara dari tindakan merampok para koruptor pun ibarat menegakkan benang basah. Bagaimana KPK akan bisa menyelamatkan uang negara, sementara lembaga antirasuah tersebut dimusuhi dan diserang secara habis-habisan. Kini apa yang sudah berada di depan mata kita semua kian memberikan cerita enyeramkan mengenai kehidupan bangsa yang semakin dihuni oleh manusia-manusia rakus, serakah, dan tidak memiliki kemanusiaan sama sekali.
Pelajaran Kehati-hatian
Yang menjadi poin terpenting dan utama mengapa ajuan praperadilan yang diajukan tersangka menjadi dikabulkan oleh pengadilan adalah terkait dua alat bukti yang tidak cukup, yang ditunjukkan oleh KPK saat berlangsungnya masa persidangan praperadilan. Pelajaran terpenting selanjutnya adalah KPK, terutama penyelidik dan penyidik harus bersikap hati-hati untuk menentukan apakah seseorang sudah layak naik menjadi tersangka ataukah tidak. Tingkat kecermatan, ketelitian, kecermatan, dan kecerdasan tinggi kemudian perlu dimiliki oleh penyelidik dan penyidik KPK. Pasalnya, ini kemudian berbicara tentang nasib seseorang apakah kemudian dia harus menggunakan rompi tahanan KPK ataukah tidak. Ini juga berkenaan dengan nama baik seseorang di depan publik. Hal tersebut juga berjalin-kelindan dengan apakah data terkait seseorang yang kemudian dinaikkan statusnya menjadi tersangka sudah mencukupi ataukah tidak.
Tangkas dan Cermat
Ke depan, KPK bersama penyelidik dan penyidiknya kemudian harus mengambil pelajaran sangat berharga atas tiga tersangka, yakni Hadi Poernomo, Komjen Budi Gunawan, dan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin dimana mereka bertiga dikabulkan praperadilannya. Silahkan dan boleh saja KPK bekerja tangkas, berani, dan tegas namun itu harus dilengkapi dengan kecermatan tingkat tinggi. Jangan sampai karena merasa memiliki kewenangan super mewah dibandingkan lembaga penegak hukum lainnya, KPK pun kemudian merasa besar kepala, seolah menjadi satu-satunya paling hebat di antara yang lain, dan menjadi malaikat pencabut nyawa bagi para koruptor. Komisioner KPK adalah manusia biasa, sama dengan yang lain, yang memiliki keterbatasan dan kelemahan. Penyelidik dan penyidik KPK pun juga demikian dimana mereka juga memiliki keterbatasan dan kelemahan dalam banyak aspek.
Tugas Pansel KPK
Komisioner KPK saat ini adalah pelaksana tugas (Plt) saja yang hanya bekerja meneruskan sisa akhir masa jabatan pimpinan KPK di bawah nahkoda Abraham Samad non aktif. Panitia seleksi (Pansel) KPK bentukan Presiden Joko Widodo yang semuanya adalah perempuan kemudian dituntut untuk kemudian dapat bekerja, menjaring para calon komisioner KPK yang memiliki integritas tingkat tinggi, berakuntabilitas, dan berakseptibilitas sebelum diajukan kepada presiden “untuk dipilih” dan kemudian mengikuti fit and proper test di Komisi III DPR. Ini menjadi tugas berat Pansel KPK. Dalam perspektif Presiden Joko Widodo, dengan Pansel perempuan, ini dapat melahirkan komisioner KPK yang memiliki cinta terhadap bangsa. Terlepas dari hal tersebut, marilah kita kawal lembaga antirasuah ini sebagai bentuk komitmen bagi kepentinganhajat hidup orang banyak.[*]
Oleh: Moh. Yamin
Dosen di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin