
Batasan, Dominasi, Relasi, dan Globalisasi
Pengarang : Al-Makin, Ph. D
Penerbit : Serambi Ilmu Semesta
Tahun terbit : 2015
Halaman : 244 Halaman
Pembagian Dunia Barat dan Timur menentang realitas. Dunia sejatinya satu: bulat. Tetapi sejarah mencatat, sebelum era globlisasi, internet menguasai dunia, dan alat transportasi canggih begitu mudah, dunia ini terbelah dua seperti itu.
Dunia Barat dan Timur dibedakan dengan tiga kriteria. Pertama, secara geografis, Barat identik dengan Amerika Utara, Australia, dan negara-negara Eropa. Timur, maksudnya Amerika Selatan, Afrika, dan negara di Asia, termasuk Indonesia. Kedua, secara kultural dan peradaban, Barat adalah simbol peradaban, tolok ukur ilmu pengetahuan, seni, musik, fashion, media, film, teknologi, ekonomi, politik, dan berbagai hal lainnya, yang dianggap lebih modernis dan rasionalis. Sedangkan Timur, kebalikannya, tradisionalis, dan kadang-kadang irrasionalis. Ketiga, secara ideologi, Barat cenderung dipahami sebagai hunian para orientalis yang tak pernah berhenti ingin menghancurkan Timur (dunia Islam). Timur, dipahami sebagai gerakan kaum agamis, oksidentalis, radikalis, bahkan tak jarang dituding teroris. Ini sangat membahayakan!
Dalam pemahaman dua terakhir, letak geografis bisa ada di wilayah Barat, namun secara kultural berada pada titik Timur, atau sebaliknya, seperti Australia, China, dan Indonesia. Jadi, dalam pemahaman ini, bisa jadi, penduduk di negara Timur seperti negara-negara di Asia dan di Afrika, menjadi musuh dalam selimut bagi dunia Timur. Secara spesifik, musuh Indonesia bisa berasal dari rakyat Indonesia yang tidak setuju dengan ketimuran yang agamis-demokratis.
Karena itulah, penulis buku ini, Al-Makin lebih tertarik memahami Barat dan Timur secara imajiner. Batasan itu hanya ada dalam pikiran manusia. Tak ubahnya hantu, yang hanya dapat dirasakan, namun tidak pernah ada wujudnya. Barat bukanlah suatu kekuatan tunggal, yang disebutnya “monolitik”. Demikian juga timur. Timur dan Barat sebenarnya merupakan penyebutan salah kaprah. Hanyalah kesalahpahaman. Dengan kata lain, penulis buku ini sejatinya ingin mengawinkan orientalisme dan oksidentalisme di atas sebuah konstruksi harmoni.
Tak perlu lagi saling mencurigai. Barat dengan orientalisnya dan Timur dengan Oksidentalismenya kini satu tujuan: mendalami ajaran Islam.
Pendidikan Kekuatan Dunia
Baik orientalisme maupun oksidentalisme menyadari bahwa pendidikan (ajaran Islam) menjadi kekuatan dunia. Negara mana pun yang menguasai pengetahuan, akan berjaya di dunia ini. Konsep ini sebetulnya ada di Timur (Islam). Akan tetapi, justru orang-orang Barat yang menguasai ajaran Timur itu. Hingga saat ini, orang-orang Islam sendiri masih tertinggal, karena terlalu sibuk dengan urusan perbedaan aliran kepercayaan, hitrogenitas, dan lain sebagainya. Sehingga tidak optimal menikmati manfaat ajaran agama ketimuran (Islam).
Ajaran ketimuran itu memang sedang didalami oleh para orientalis dan oksidentalis. Dalam sinopsis buku ini disebutkan, para orientalis terus mengintensifkan kajiannya bahkan berkembang dalam segala bidang: sejarah, sosiologi, antropologi, filologi, filsafat, agama, budaya, dan politik. Juga dibahas tentang sejarah, sastra, dan budaya, baik di Barat maupun Timur.
Itu makin memperkuat keyakinan bahwa orientalisme (Barat) dan oksidentalisme (Timur) bukan dua kekuatan yang berhadap-hadapan, untuk saling menghancurkan. Lebih tepatnya, Barat dan Timur berada dalam satu tujuan: berebut menguasai pengetahuan. Meskipun pada akhirnya pengetahuan akan dijadikan senjata terampuh untuk berebut menguasai dunia. [*]
Oleh: Abdur Rahem
Mahasiswa Pascasarjana STAIN Pamekasan, Madura. Email: arahemseksa436@gmail.com.