Rustam dan Tamin berjongkok di depan perapian depan pos ronda dengan tubuh terbungkus kain sarung tuk mengusir udara dingin.
Malam itu malam jumat, Rustam melirik arloji yang dikenakannya jarum pendek dan jarum panjangnya sejajar menunjukan tepat pada angka dua belas, Rustam mengangkat tubuhnya mengambil kentongan dan memukulnya sebanyak tiga kali, sebagai penanda tengah malam telah tiba dan situasi keamanan kampung terjamin tak perlu dikuatirkan. Setelah itu Rustam mengambil gelas kaca dua buah dibubuhi kopi dan gula ke dalamnya kemudian diguyur oleh air panas dari termos.
“Min ngopi dululah, ini rokok masih ada sebungkus sumbangan dari Haji Mamat,” kata Rustam sambil menyeruput kopi panas beberapa seruputan, kemudian membuka bungkus keretek dan menyulutnya sebuah tuk dihisapnya.
Mendengar godaan ngopi dan merokok Tamin langsung berdiri dan duduk disebelah Rustam, mereka bersantai bersama menikmati kopi dan rokok.
“Tam, waktunya berkeliling nih.”
“Nggak usah Min, sitausi aman terkendali kok.”
“Kita berkeliling formalitas saja.”
“Aku lagi sumeh Min.”
“Yo wes.”
Tiba-tiba Tamin celingukang, ia mendengar sesuatu yang janggal.
“Ada apa Min?”
“Tam, apa kamu tak dengar? Sssst kedengarnnya seperti suara orang lagi meratap sedih laki dan perempuan selang-seling.”
Kemudian Rustam dan Tamin saling diam, mereka memasang kupingnya lebar-lebar.
“Ia Min, aku mendengarnya, suara laki-laki dan perempuan, aku takut Min.”
“Sama Tam, aku juga takut nih, bulu kudukku merinding begini.”
Tak lama berselang suara itu lambat-lambat hilang, kemudian sunyi senyap, hanya suara jangkrik yang setia menemani pekatnya malam.
“Min, bukannya sumber suara itu berasal dari rumah kosong itu bukan?”
“Ia benar Tam. Memangnya ada apa Tam? Aku’kan orang baru di kampung ini.”
“Min rumah itu tuh,” kata Rustam sambil menudingkan telunjuknya pada sebuah rumah tua gedeg bembu yang nyaris roboh karena tak terurus dan kusam kelam tak berlampu, kurang lebih berjarak tiga ratus meter dari pos ronda itu ke arah utara.
“Min, tuan rumah di rumah tua itu telah meninggal dunia sepuluh tahun yang lalu, mereka mati tak wajar, kata orang-orang arwah mereka gentayangan. Awalnya aku tak percaya, namun setelah mendengar suara ratapan laki dan perempuan barusan, kini aku mempercayainya, lakinya bernama Tukiman dan bininya Sarijah,” kata Rustam lagi dengan wajah memucat ketakutan.
“Min, akan kuceritakan kisah mereka, apa kamu mau mendengarkannya?”
“Mau Tam, tapi aku takut.”
“Sudah nggak usah takut hantu mereka tak pernah mengganggu kok. Begini kisahnya Min;”
***
Senja itu cuaca murung, langit kelam diliputi awan hitam yang mulanya tipis namun karena bantuan angin kian lama kian menebal, selanjutnya gerimis datang bertandang, tak lama berselang hujan membadai yang diikuti suara petir bertalu-talu.
Tukimin datang ke rumahnya dengan pakaian kuyup, seraya ia mengetuk daun pintu dan istrinya segera membuka selot.
Tukuimin masuk menyeruak, langsung ke dapur dan meletakan tanggungan wadah jualan tempenya di pojok, karena perut keroncongan tanpa basa basi lagi ia membuka rak makanan, namun nasi tak lagi tersisa.
“Sarijah, apa kau tak masak nasi hari ini?” Tukimin melantangkan suaranya.
“Kita sudah tak punya beras Kang,” sahut Sarijah.
“Menghutang dulu pada tetangga atau warung sebelah kek.”
“Hutang kita telah menumpuk Kang, para tetangga dan warung sebelah telah bosan memberi kita hutang, kata mereka kalau mau menghutang lagi, bayar dulu hutang yang lalu-lalu.”
Mendengar demikian dari istrinya Tukimin diam, tanpa berkata-kata lagi ia keluar menantang hujan, dan pulangnya membawa sekepal beras yang diwadahi dengan karung bekas terigu.
Sambil mengais anak perempuannya yang baru berumur satu tahun itu, Sarijah menanak nasi dan menggoreng tempe yang masih tersisai tak terjual. Setelah semuanya beres mereka makan bersama.
Setelah perutnya terisi, Tukimin nampak lega, sambil melinting tembakau dengan daun kawung Tukimin minta dibuatkan air kopi pada istrinya, namun kopi telah habis tak tersedia, Tukimin menghela nafas panjang, dan akhirnya hanya air gula aren yang dapat terhidangkan sebagai teman merokok.
“Kang kapan hidup kita berubah?” tanya Sarijah sambil menyusui Sadah, ada pun keadaan Sadah badannya kurus serupa tulang yang hanya terbungkus kulit, matanya cekung dan bola mata seolah membesar, kaki dan tangannya kurus kering sedangkan perut buncit seperti perut ular berisi buah maja.
“Jah, sabarlah,” jawab Tukimin enteng.
“Sabar bagaimana Kang?” nada suara Sarijah mulai meningkat.
“Ya, sabar,” jawa Tukimin datar.
“Sabar, sabar, usaha dong Kang!” Sarijah ketus.
“Heeeh Sarijah, apa kau lihat suamimu ini berleha-lelah berpangku tangan di setiap harinya? Tidakah kau lihat aku tiap hari mondar mandir di pinggir jalan menawarkan tempe pada semua orang? Itu kulakukan demi kita, aku, kamu, dan Sadah!” Tukimin mulai naik amper.
Selang satu bulan dari percekcokan kecil itu. Pada malam harinya, terjadi percekcokan sengit antara Tukimin dan Sarijah. Sarijah minta dicerai, dan Tukimin mempertahankannya, tepat tengah malam, terdengar Sarijah menjerit, dan pada pagi harinya para tetangga geger, mendapati Sarijah tak lagi bernyawa lehernya nyaris putus oleh sabetan golok, sedangkan tubuh Tukimin tergantung di kusen kamarnya, ia pun telah tak bernyawa mengahiri hidupnya sendiri dengan cara gantung diri.
***
“Nah begitu ceritanya,” tutup Rustam.
“Ooo, begitu toh! Kasihan juga ya nasib mereka.”
Cerpen: Puntadewa
Nama pena dari Agus Hiplunudin. Mahasiswa Pascasarjana UGM Yogyakarta Jurusan Ketahanan Nasional.