SUMENEP, koranmadura.com – Suhairi bin Mukawi mengklaim lahan yang dibangun Pasar Ternak Terpadu di Desa Pakandangan Sangra, Kecamatan Bluto, milik kakeknya. Pemkab dinilai telah mencaplok tanah seluas 7.090 hektare atas nama Masriullah yang tidak lain adalah kekek Suhairi.
“Pemerintah daerah telah sewenang-wenang melakukan pembangunan, padahal sampai saat ini masih belum ada kesepakatan apa pun. Makanya, kami tetap akan pertahankan meskipun sampai ke jalur hukum, karena ini masih hak kami,” kata warga Dusun Beddungan, Desa Pakandangan Sangra.
Bukti kepemilikan lahannya berdasarkan surat bukti pajak yang dibayar setiap tahun. Sesuai dengan liter C tanah tersebut atas nama Masriullah dengan nomor persel 26 kohir 371. Namun bukti kepemilikan tersebut tiba-tiba berubah atas nama Samawan Eno dan ahli waris Asmona dengan nomor kohir 640. Asmona merupakan anak tiri dari Masriullah.
Ia baru mengetahui perubahan tersebut setelah mengikuti rapat bersama dengan pemerintah daerah pada tanggal 1 Desember 2014. Rapat tersebut dihadiri oleh Sekretaris Daerah Hadi Soetarto, Kepala DPPKA Sumenep Didik Untung Syamsidi, Kapal BPN Sumenep dan juga Kepala Desa Sangra Kecamatan Bluto. Sementara Asmona tidak diperkenankan mengikuti rapat karena hanya sebagai pengelola.
Kemudian pada tanggal 3 Desember 2014 Kepala Desa Sangra mengadakan rapat lanjutan yang diselenggarakan di rumah kepala desa. Namun rapat tersebut tidak membahas soal pertemuan lanjutan yang dilakukan di Kantor Pemda. ”Pada saat rapat, kepemilikan tanah tersebut sudah dialihkan. Sehingga kami dinilai sudah tidak mempunyai hak lagi,” ungkapnya.
Suhari menduga perubahan nama kepemilikan tanah tersebut, dilakukan secara tidak prosedural. Sehingga meskipun sertifikat tanah tersebut nantinya dikeluarkan oleh BPN, bisa dipastikan sertifikat tersebut ilegal.
Dirinya sebagai ahli waris sampai saat ini mengaku belum menerima ganti rugi dari pemerintah daerah. Padahal, sejumlah ahli waris yang lain dikabarkan sudah ada yang menerima. ”Jadi, kalau saya tidak diperhitungkan, buat apa saya membayar pajak. Ini kan sudah penistaan buat saya,” ungkapnya.
Adapun harga tanah yang telah dibayar oleh pemerintah daerah tidak sama, yakni untuk lahan depan senilai Rp 116 ribu per meternya, sementara untuk lahan belakang senilai Rp 7.400 per meternya.
Sementara Kepala Dinas Peternakan (Disnak) Kabupaten Sumenep Arif Rusydi mengaku persoalan pembebasan lahan di lokasi pembangunan pasar tersebut sudah selesai. ”Udah, Mas, jangan didengarkan, soal pembebasan lahnnya sudah selesai, bahkan sertifikatnya sudah selesai. Saat ini sertifikat itu sudah ada di pemerintah daerah,” timpalnya.
Pembangunan pasar sapi modern itu, merupakan proyek nasional yang semua otoritas pekerjaannya dilakukan oleh pemerintah pusat. Pembangunan pasar sapi itu dibangun di atas lahan seluas 2 hektare yang dibiayai melalui dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belana Negara) 2014.
Pembanguan pasar hewan modern itu terus dilakukan, termasuk pembanguan gedung pusat kesehatan hewan (puskesmaswan) yang saat ini sedang berlangsung. Pembangunan tersebut dibiayai melalu dana APBD sebesar Rp 200 juta.
Sementara untuk membangunan kelengkapan yang lainnya, seperti tambatan sapi, jalan paving menuju pasar sapi, tempat parkir mobil, tempat penurunan sapi, ditakir membutuhkan anggaran sebesar Rp 5 miliar.
(JUNAIDI/MK)