Ungkapan “Guru digugu lan ditiru” terkesan sudah terlalu basi untuk diperbincangkan. Dari sekian banyak wacana yang membahas tentang kewajiban seorang guru yang seharusnya menjadi tauladan, seakan sudah tidak signifikan dan tidak ada pengaruh lagi bagi anak didik. Kebanyakan, ungkapan tersebut hanya dimanfaatkan untuk meniru perilaku yang “buruk” dari sang pendidik.
Tidak ubahnya sang pendidik, kebanyakan dari mereka melakukan kegiatan mendidik hanya karena panggilan kebutuhan hidup, bukan karena panggilan hati. Akibatnya, lahir pula pendidik-pendidik lainnya yang hanya menyandang status guru, dosen, ustaz dan lain sebagainya tanpa benar-benar ada niat untuk mencetak generasi bangsa yang berbudi luhur.
Kata “berbudi luhur” bukan hanya sekadar menjadi visi misi seorang pendidik untuk mencetak pendidik baru yang unggul. Budi luhur harus benar-benar ditanamkan ke dalam jiwa seseorang, yang nantinya, ada dan tidak adanya keluhuran budi tersebut akan berdampak pada kepribadian seseorang.
Pribadi atau perangai seseorang yang buruk tentu juga akan berdampak pada stabilitas keamanan nasional, sebagai contoh lahirnya pencuri, perampok, pembunuh, dan pelaku kriminal lainnya yang dapat dipastikan bahwa tidak terdapat keluhuran budi dalam diri orang tersebut.
Tentunya sangat lucu jika seseorang merasa tidak aman di dalam negaranya sendiri. Kiranya banyak terjadinya tindak kriminal tidak hanya disebabkan kelengahan dari pihak keamanan atau karena lemahnya hukum di suatu negara terkhusus di Indonesia. Akan tetapi, semua bermula dari seorang pendidik yang seharusnya menanamkan akhlaq al-karimah dan menjadi tauladan yang baik bagi anak didik.
Status pendidik tentunya tidak hanya dibebankan kepada guru di sekolah, dosen di kampus, atau pun ustaz di pondok pesantren, akan tetapi juga kepada yang lebih banyak memberikan pengaruh pada seorang anak, yaitu orang tua yang berfungsi sebagai madrasah utama.
Degradasi pendidik dalam negeri
Tidak dapat dipungkiri, bahwa melihat kondisi Indonesia sampai saat ini dan sampai yang seperti ini, tentu tidak lepas dari peran para pendidik, entah itu pendidik dari lembaga formal maupun non-formal. Namun, dapat dilihat bersama bagaimana perbedaan antara pendidik dari era orde lama, orde baru sampai era reformasi.
Tidak hanya menyorot pada sang pendidik, akan tetapi juga melihat dari hasil didikannya (anak didik). Jika melihat secara global, pada masa orde lama dibawah naungan bapak pendidikan nasional Indonesia, yakni Ki Hajar Dewantara, telah melahirkan banyak tokoh yang masih “populer” sampai saat ini, seperti Mohammad Natsir, Abdur Rahman Wahid yang biasa dipanggil Gus Dur, Yap Thiam Hien yang karyanya masih bisa dibaca sampai saat ini.
Tidak jauh berbeda dengan hasil pendidikan pada masa orde baru yang melahirkan pemikir-pemikir hebat seperti Nur Kholis Majid, Dawam Rahardjo dan lain sebagainya yang juga masih dapat kita nikmati bersama karya-karyanya, walaupun masih terdapat kesimpang siuran dalam sistem pendidikan yang diterapkan pada masa itu.
Akan tetapi, jauh semakin ke sini, tokoh pemikir dan pembaharu semakin berkurang, bahkan nyaris tidak ada. Malahan, tokoh-tokoh perusak, tokoh koruptor, tokoh kriminal lah yang semakin banyak lahir. Kebanyakan mengatakan bahwa orang-orang seperti itu adalah orang-orang yang tidak berpendidikan.
Sudah bukan rahasia lagi tentang bagaimana perilaku para pendidik di Indonesia pada saat ini. Jumlah guru cabul, guru korup, guru plagiat, sudah semakin meningkat. Akibatnya, anak didik juga melakukan cabul di sekolah, mengedar obat-obat terlarang dan lain sebagainya. Melihat lagi ke dunia kampus, masih banyak mahasiswa yang melakukan plagiarisme saat membuat karya ilmiah. Jika sudah seperti ini, apakah masih patut untuk menyalahkan sistem pendidikan yang ada di negara ini.
Satu-satunya dan yang paling utama harus diperbaiki adalah ghirah seorang pendidik untuk benar-benar mendidik. Ir. Soekarno pernah mengatakan, bahwa “Sungguh alangkah hebatnya kalau tiap-tiap guru di perguruan taman siswa itu satu persatu adalah Rasul kebangunan, hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan yang dapat ‘menurunkan’ kebangunan ke dalam jiwa sang anak”.
Tanpa mengurangi rasa hormat dan tanpa menafikan para pendidik yang memang sudah layak disebut sebagai pendidik, bisa dikatakan bahwa pendidik di Indonesia sekarang ini sedang berada diambang krisis. Walaupun, tidak sedikit pula orang baik yang berilmu dan tentunya tidak korup di negeri ini. Akan tetapi, yang terlihat lebih dominan adalah, Indonesia sedang mengalami “kebrobokan”, khususnya dalam dunia pendidikan.
Oleh sebab itu, alangkah lebih baiknya untuk para pendidik melakukan perbaikan diri terlebih dahulu, pelurusan niat, lalu perbaiki teknik dan sistem pendidikan yang dirasa masih belum maksimal. Karena sebaik apapun sistem yang diterapkan, jika tidak ada kemauan yang kuat dari sang pendidik untuk menjadikan anak didiknya sebagai manusia yang berkualitas dan berakhlaq al-karimah, maka sistem yang telah dibuat pun akan terasa sia-sia. Wa Allahu a’lam bi as-shawab. [*]
Oleh: Niswatul Khoiroh
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang dan Staf Pengajar di PG-TK Islam Mellatena Ngaliyan Semarang