Setiap penambangan seringkali mengakibatkan kontradiksi di masyarakat, baik antar individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok. Dari sekian banyak catatan mengenai kontradiksi yang terjadi di masyarakat salah satunya adalah kasus perlawanan petani versus PT. Indocement di Rembang Pati Jawa Tengah.
Kemudian 26 September lalu berita duka yang masih menjadi perbincangan publik adalah meninggalnya Salim Kancil (52) seorang petani dan aktivis lingkungan. Salim merupakan aktifis yang getol bersuara lantang dalam penolakan tambang pasir pantai di Watu Pacak, Desa Selok Awar-Awar Kecamatan Pasirian Lumajang.
Menurut data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Salim bukanlah orang pertama yang diduga menjadi korban pembunuhan akibat menolak penambangan pasir di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Hanya saja LBH tidak menyebutkan secara detail nama-nama yang menjadi korban penambakan pasir ilegal di Lumajang. Status pasir pantai yang merupakan kekayaan negara tersebut seharusnya dikelola dengan baik oleh pemerintah dan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Bukan dinikmati oleh segelintir orang, utamanya oknom-oknom yang tidak bertanggung jawab.
Kegiatan aktivis seperti yang dilakukan Salim Kancil seringkali mendapatkan intimidasi dari berbagai pihak utamanya pemangku jabatan yang selalu menyalahgunakan posisinya. Perlawanan yang dilakukan Salim dan kawan-kawannya merupakan gambaran dari sekian banyak aktivis yang selalu mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi. Keadilan di negeri ini tidak hanya mahal secara materi namun mahal secara sosial. Karena menjadi aktifis tidak cukup dengan mengorbankan harta, namun juga membutuhkan persiapan secara mental, karena koersi, intimidasi, penculikan, hingga tindak kekerasanpun dapat mengancam kehidupannya.
Pada tahun 2014 Pemerintah Desa mengeluarkan kebijakan dan mensosialisasikan kepada masyarakat kalau di pantai tersebut ingin dibangun tempat pemandian untuk di jadikan tempat wisata. Agar pendapatan Pemerintah Desa meningkat dan dapat menggalakkan perekonomian masyarakat. Akan tetapi, dalam perjalanannya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Desa tidak sesuai dengan yang diharapkan. Tempat tersebut malah dijadikan sebagai praktek penambangan pasir ilegal.
Di sisi lain, pemangku jabatan selalu mengabaikan laporan warga yang mendapatkan intimidasi dari kelompok yang pro tambang pasir. Kelompok tersebut adalah mantan tim sukses Kepala Desa Selok Awar-awar yang diberi kerwenangan oleh Pemerintah Desa untuk mengelola tambang pasir di Watu Pacak. Sebelum wafat Salim dan kawan-kawannya sudah melaporkan intimidasi tersebut kepada pihak yang berwenang. Hanya saja pemerintah tidak responshif terhadap aduan warga. Hingga hal tersebut mengakibatkan jatuhnya korban yakni tewasnya salim kancil atas penggeroyokan warga yang merasa dirugikan atas perjuangan Salim.
Kejadian seperti diatas seringkali berulang dari masa ke masa, dari tahun ke tahun, hanya saja korban dan tempat yang berbeda. Namun kejadiannya sama saja yakni sama-sama tindak kekerasan terhadap aktivis lingkungan. Kalr Marx (1818) tokoh Sosiologi klasik menggambarkan bahwasanya kaum Borjois (pemilik modal) dan Proletar (pekerja) akan selalu berkonflik karena perbedaan kelas. Namun dalam kontek kekinian Borjuis juga mencakup stake holder (pemangku jabatan). Karena pemangku jabatan memiliki legitimasi untuk mebuat kebijakan. Namun stake holder dengan kekuatan hukumnya selalu mengelabuhi masyarakat dengan alasan pembangunan dan kesejahteraan.
Kesejahteraan memang merupakan alasan utama yang harus di dorong oleh pemerintah. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah keberlanjutan lingkungan untuk generasi selanjutnya.Penambangan pasir pantai yang dilakukan secara terus menerus dapat mengakibatkan dampak jangka panjang. Diantaranya dapat mengakibatkan rusaknya lahan pertanian masyarakat. Sehingga keberadaan lahan pertanian masyarakat dapat terancam hilang. Masyarakat di Desa Selok Awar-Awar hanya bisa melakukan protes terhadap pemangku jabatan. Namun pemerintah Desa dengan sengaja mengabaikan protes dari masyarakat. Padahal seharusnya pemerintah Desa menjadi pamong yang melayani dan mendengarkan, serta mewujudkan asprasi warganya.
Penyerapan tenaga kerja di sektor tambang pasir memang banyak melibatkan masyarakat hingga mencapai ribuan orang. Namun income (pemasukan) terhadap pemerintah daerah tidak sebanding dengan tenaga kerjanya. Bahkan kontribusi penambangan pasir legal sekalipun di Kabupaten Lumajang tidak signifikan. Tahun 2014 pendapatan asli daerah dari hasil penambangan hanya Rp 75 Juta. Artinya total pendapatan sektor pertambangan hanya 1,58 persen dari domestik regional bruto (PDRB). Angka tersebut sangat kecil dibandingkan dengan PDRB di sektor pertanian yang mencapai 34 persen, serta perdagangan hotel dan restoran yang mencapai 24 persen.
Dahrendorf juga menjelaskan bahwasanya mereka yang menduduki posisi memiliki otoritas dalam mengendalikan bawahannya. Artinya otoritas yang melekat pada posisi pemangku jabatan disini dapat membuat kontrol terhadap masyarakat dan masyarakat dengan mudah mematuhinya (George Ritzer:2012). Perihal yang dijelaskan oleh Dahrendorf menyatakan bahwasanya masyarakat memiliki banyak harapan utamanya kepada pemerintah. Namun kasus penambangan pasir ilegal tersebut tidak di respon secara baik oleh pemerintah Desa. Dan perihal yang sangat ironis adalah pengeroyokan Salim Kancil dilakukan di Balai Desa.
Minimnya pengatahuan tentang arti pentingnya sebuah lingkungan dalam masyarakat Desa juga menjadi penyebab terjadinya penambangan pasir ilegal. Hal ini tiada lain disebakan oleh persoalan ekonomi. Yang mana di era modern ini kebutuhan masyarakat semakin tinggi. Sehingga masyarakat berfikir instan hanya untuk menghasilkan rupiah walaupun tindakan yang dilakukan tidak ramah lingkungan. Salim dan tosan merupakan salah satu tumbal negara agar masyarakat menyadari akan pentingnya menjaga lingkungan. Semoga kejadian ini adalah kejadian yang terakhir kalinya agar tidak ada tumbal-tumbal lainya di pasir Lumajang. Amien. [*]
Oleh: Hendris
Mahasiswa Sosiologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta