Terminologi kabut juga sudah kurang tepat untuk menyebut musibah yang terjadi sebagai kabut semata. Sebab yang namanya kabut itu terjadinya tentatif dan tidak berlangsung lama. Misalnya pagi hari yang berkabut itu terjadi dalam beberapa menit saja atau paling lama dalam hitungan jam.
Menjadi kurang relevan kalau apa yang terjadi di Kalimantan, Sumatera, dan wilayah lain di Indonesia, disebut sebagai kabut, karena durasi waktunya yang sudah terlalu lama, sekira tiga bulan, kurang lebih.
Begitu pula dengan wilayah jangkauan asap yang sudah semakin merajalela. Untuk ukuran kabut wilayah cakupannya biasa terjadi pada sekitar wilayah pegunungan yang berkabut. Derita asap ini sudah menyelimut hampir seluruh wilayah Kalimantan, Sumatera, Bengkulu, dan Riau. Bahkan sudah menjalar ke wilayah Jawa. Setelah sebelumnya juga menjangkau wilayah negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
Kenapa asap ini disebut sebagai teror? Karena asap yang menyelimuti setiap jengkap ruang warga sudah sedemikian rupa menghantui dan menjadi momok bagi warga yang wilayahnya terpapar asap. Tak ada tempat bersembungi dan aman bagi warga yang berada di wilayah terpapar asap.
Bahkan hingga ke dalam rumah sekalipun asap sudah masuk dan menjadi persoalan yang mengganggu aktivitas warga. Tak hanya mengganggu aktivitas perseorangan, asap juga mengganggu kegiatan belajar mengajar. Sehingga tak sedikit sekolah yang diliburkan dalam beberapa pekan terakhir, karena mengganggu siswa dan guru yang sedang berada di dalam kelas.
Demikian pula aktivitas perekonomian menjadi terhambat, laju kendaraan melambat di jalur dan jalan-jalan yang otomatis membuat distribusi barang juga semakin lama. Terlebih lagi dengan berhentinya kegiatan penerbangan di bandara yang terkena asap. Otomatis merugikan operasional bandara maupun maskapai penerbangan.
Tak hanya kerugian lingkungan, pendidikan, ekonomi dan kesehatan warga yang menjadi korban akibat bencana asap ini, namun korban jiwa meninggal terutama anak-anak, tak sedikit yang menjadi tumbal bencana asap. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data jumlah korban bencana asap yang utamanya terjadi di Kalimantan dan Sumatera.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho mengatakan bahwa dampak asap akibat karhutla telah menyebabkan 10 orang meninggal dunia di Sumatera dan Kalimantan, baik dampak langsung dan tidak langsung.
Dampak langsung, lanjut dia, adalah korban yang meninggal saat memadamkan api lalu ikut terbakar. Sedangkan tidak langsung adalah korban yang sakit akibat asap, atau sebelumnya sudah punya riwayat sakit lalu adanya asap memperparah sakitnya.
Lebih dari itu, tambah dia, bencana asap juga telah menyebabkan 503.874 jiwa sakit ISPA di 6 provinsi sejak 1 Juli-23 Oktober 2015. Jumlah masing-masing provinsi adalah 80.263 di Riau, 129.229 di Jambi, 101.333 di Sumsel, 43.477 di Kalbar, 52.142 di Kalteng dan 97.430 di Kalsel.
Menurut Sutopo, kemungkinan jumlah penderita yang sebenarnya lebih daripada itu karena sebagian masyarakat sakit tidak berobat ke Puskesmas atau rumah sakit. Mereka berobat mandiri sehingga tidak tercatat (galamedianews.com).
Mengurai benang kusut kasus asap memang tak mudah, meski tak mudah bukan tak mungkin dapat diselesaikan. Sebab setiap masalah pasti ada solusi dan jalan keluar. Tergantung kita mau menggunakan jalan keluar yang mana dalam menyelesaikan persoalan teror asap yang terjadi.
Upaya dan kerja seluruh pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun pihak militer patut diapresiasi sebagai sebuah ikhtiar untuk menghentikan bencana asap yang dari hari ke hari seperti semakin tak terkendali. Bahkan upaya pemerintah mendatangkan bantuan dari sejumlah negara tetangga juga tidak mampu menghentikan bencana asap sampai tuntas.
Jika dilihat secara detil, pola penanganan bencana asap yang terjadi saat ini, pemerintah tampak parsial dan sporadis dalam mengatasi. Hal ini tentu saja menunjukkan pemerintah tampak tidak siap menghadapi bencana asap yang terjadi. Padahal, kejadian kebakaran di wilayah Kalimantan dan Sumatera selalu berulang setiap tahunnya. Paling tidak, jika tidak bisa diatasi secara menyeluruh, meminimalisasi wilayah yang terbakar dan dampak kebakaran bisa diantisipasi jauh-jauh hari.
Koordinasi dan komunikasi pada level pemerintahan baik di level terdekat kabupaten/ kota dengan propinsi dan pemerintah pusat tidak berjalan secara efektif dan baik. Dari pemberitaan yang muncul, tampak sekali bahwa peran pemerintah daerah dan kabupaten sangat minim, dibanding pemerintah pusat. Padahal, pemerintah di level kabupaten dan propinsi yang paling dekat dengan tempat kejadian bencana.
Saat memberi penjelasan di depan media maupun masyarakat Presiden Jokowi terlihat lebih bangga menjelaskan berapa banyak pelaku pembakaran yang sudah dihukum, baik untuk masyarakat, korporasi maupun pihak lain yang terlibat. Bahkan dengan fantastis, Presiden menyebut ada 140 lebih pelaku pembakaran yang sudah dihukum. Namun pada saat yang bersamaan bencana asap masih terus berlangsung.
Pemerintah juga terlihat terlalu gegabah dalam menerima bantuan asing dalam menyiram lokasi kebakaran, yang hasilnya tidak terlihat sama sekali. Setelah banyak negara yang mengirimkan pesawat pengebom airnya, pemadaman titik api juga tidak efektif. Artinya pada aspek kajian mengenai penyebab titik api dan penyebarannya tidak dianalisasi secara baik. Sehingga terkesan pokoknya bekerja, namun hasilnya tak jelas tampak.
Terlibatnya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam menyorot kinerja pemerintah dalam menangani bencana asap semoga tidak menambah riuh dan kisruh situasi yang ada. Sehingga korban bencana asap tidak semakin menderita, dengan dijadikan panggung politik oleh politisi senayan. Namun bisa lebih menekan pemerintah untuk bekerja secara baik dan efektif lagi. Semoga. [*]
Oleh: Alwiyah
Rektor Universitas Wiraraja Sumenep