Belum lama ini pemerintah telah menetapkan penurunan harga bahan bakar minyak jenis premium dan solar yang akan diberlakukan pada 5 Januari 2016. Harga premium turun dari Rp 7.400 per liter menjadi Rp 7.150 per liter dan solar turun dari Rp 6.700 per liter menjadi Rp 5.950.
Namun kebijakan penurunan harga BBM tersebut menjadi anomali ketika Menteri ESDM Sudirman Said mengeluarkan kebijakan pungutan Dana Ketahanan Energi (DKE). Sebab harga akan menjadi naik dari keekonomian ketika pemerintah harus memungut dana ketahanan energi sebesar Rp200/liter untuk premium dan Rp300/liter untuk solar. Disinilah pemerintah semestinya meninjau ulang rencana kebijakan kontroversial ini.
Seandainya pemerintah tetap ingin memungut DKE maka pungutan tersebut harusnya ditujukan kepada kontraktor minyak dan gas bumi. Sesungguhnya akan lebih efektif jika kebijakan pungutan itu diberlakukan pada korporasi kontraktor sebagai kompensasi kerusakan alam akibat eksplorasi energi yang mereka lakukan. Bukan malah memungut dari “kantung” rakyat.
***
Kita tahu bahwa kebijakan pemerintah ini memiliki tujuan baik, dimana tujuan dana tersebut untuk memberikan subsidi harga listrik yang saat ini belum kompetitif karena harga produksi spesifiksnya dari sumber-sumber energi terbarukan belum terjangkau jika dibandingkan dengan sumber yang berasal dari energi fosil. Selain itu, pemakain dana itu juga bertujuan untuk mendorong eksplorasi agar depletion rate atau tingkat pengurasan cadangan energi dapat ditekan.
Sekalipun bertujuan baik, namun alangkah baiknya jika pemerintah melakukan kajian ulang dari berbagai aspeknya secara komprehensif sebelum membuat kebijakan. Seperti yang kita ketahui bahwa kebijakan pemungutan DKE ini pada waktu yang tidak tepat pada saat perekonomian nasional sedang tumbuh melamban. Di sisi lain, pemerintah juga patut mendengar umpan balik (kritik) dari masyarakat terkait dasar hukum penarikan pungutan tersebut. Dimana dasar hukum UU No 30 Tahun 2007 tentang Energi yang dijadikan dasar hukum pemerintah dianggap tidak memberikan wewenang kepada pemerintah untuk menarik pungutan atas konsumsi BBM.
Dalam kerangka sistem keuangan negara, prinsip dasar pemungutan dan pengeluaran keuangan negara harus melalui peraturan perundangan. Jika ada penerimaan negara bukan pajak tidak berdasarkan pada peraturan perundangan, maka dapat dipastikan bahwa kebijakan tersebut menyalahi hukum. Jika seandainya pemerintah tetap menjalankan rencana kebijakan pemungutan tersebut maka hal yang harus dilakukan adalah membuat peraturan pemerintah yang baru, mengingat saat ini dianggap belum ada oleh sebagian pengamat terkait dasar hukum yang sah untuk menjalankan kebijakan tersebut.
Jika pungutan dana ketahanan energi tanpa dasar regulasi hukum dan badan pengelola, bisa dikatakan bahwa pemerintah telah menerapkan “pungutan liar” yang sangat rawan korupsi. Dilain sisi, kita juga patut mempertanyakan soal transparansi dari badan pengelola dan penggunaan dana yang terkumpul apakah akan betul betul digunakan secara efektif untuk eksplorasi dan penelitian menemukan energi baru atau tidak.
***
Di sinilah sesungguhnya pemerintah harus memberikan konsep yang jelas dan regulasi terlebih dulu sehingga transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Jika konsepnya dirumuskan dengan jelas tentu penerapan kebijakan dana ketahanan energi ini adalah langkah genial yang tepat sebagai bantalan gejolak kenaikan harga minyak dunia yang bisa terjadi kapan saja dan lebih jauh dana ketahanan energi ini sebagai antisipasi terhadap cadangan energi fosil yang diprediksi tidak akan mampu memenuhi kebutuhan energi di masa depan.
Dimana energi baru dan terbarukan akan memiliki peran penting di masa depan sebagaimana negara-negara maju sudah menerapkan kebijakan ini. Sesungguhnya langkah ini bisa dikatakan sebagai langkah revolusi dan trobosan politik energi Indonesia masa depan, namun dengan catatan bahwa kebijakan ini janganlah bermental “pungli” negara kepada rakyat. Sebab sampai kapanpun pembebanan harga BBM ini tidak tepat jika dibebankan kepada rakyat meskipun dengan dalih untuk kepentingan penelitian dan pengembangan energi baru dan terbarukan.
Sebaiknya pemerintah harus tetap patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku agar proses ketatanegaraan berjalan sebagaimana mestinya. Sejatinya kita bisa melihat bahwa dasar hukum Dana Pungutan Ketahanan Energi ada pada pasal 30 UU Nomor 30 tahun 2007 yang berbunyi tentang pengembangan dan pemanfaatan hasil penelitian tentang energi baru dan terbarukan dapat dibiayai dari pendapatan negara yang berasal dari energi tak terbarukan. dana ketahanan energi bisa diambil dari pendapatan negara dari pajak migas yang sekarang mencapai Rp50 triliun atau dari penghasilan negara bukan pajak (PNBP) sektor migas yang kini mencapai Rp95 triliun.
Di sinialh kebijakan soal DKE ini harus segera ditinjau ulang. Apalagi aturan itu mulai berlaku 5 Januari 2016 mendatang. Kita berharap pemerintah memperhatikan masukan dari masyarakat dan ditinjau dengan matang sebelum kebijakan tersebut diputuskan. [*]
Oleh: Wahyudi
Pengurus Yayasan Wakaf Manba’ul ‘Ulum Cirebon. Mantan Direktur I PT. WF Indo