Sejak difatwakan “haram” oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 16/2/2016, aktivitas dan propaganda dari aktivis LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) dinyatakan terlarang, terutama aktivitas yang berkenaan dengan nilai-nilai agama dan sosial negara.
Meskipun haram dalam ranah nilai sosial agama, namun selayaknya mereka tetap bisa mendapatkan hak-hak mendasar terutama dalam rutinitas seperti, bekerja, belajar, berusaha, berdagang, berobat, tanpa mendapat kekerasan dari pihak manapun.
Konsekuensi logis dari bentuk penyimpangan yang dilakukan LGBT, sontak membuka kembali tabir bahwa lagi-lagi pemerintah kecolongan dengan masih maraknya perilaku menyimpang dari sebagian kecil anak bangsa, setelah fenomena Gafatar yang menghebohkan. Sikap tegas dan bijaksana pemerintah dalam mengambil langkah memaknai maraknya fenomena LGBT, tentu sangat diharapkan agar masalah ini tidak mengganggu dan meresahkan masyarakat. Tegas untuk menolak permintaan dan hak-hak LGBT tidak sesuai dengan konstitusi dan dasar negara Pancasila, seperti praktik, apalagi legalisasi menikah sesama jenis. Di sisi lain, kebijaksanaan pemerintah juga diuji apakah mampu melindungi dan menjamin hak-hak dasar LGBT sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila yang merupakan kristalisasi nilai-nilai agama dan budaya Indonesia?
Menyimpang
Dasar kuat pemerintah untuk bersikap tegas menolaknya, mencakup dua hal. Pertama, karena LGBT bertentangan dengan semua ajaran samawi, tidak hanya Islam, melainkan seluruh agama yang diakui di Indonesia. Selain itu, juga bertentangan dengan Pancasila terutama sila 1 dan sila 2, UUD 1945 Pasal 29 ayat 1, serta UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dimana pasal 1 mengatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Artinya bahwa, pandangan umum yang diterima di Indonesia adalah kelompok esensialism yang meyakini bahwa jenis kelamin, orientasi seksual, dan identitas seksual sebagai hal yang bersifat terberi dan natural sehingga tidak dapat mengalami perubahan.
Sedangkan kelompok LGBT lebih condong pada pandangan social constructionism, yang berprinsip bukan hanya gender, tetapi juga seks/jenis kelamin, orientasi seksual maupun identitas gender adalah hasil konstruksi sosial. Dimana suatu konstruksi sosial, seksualitas bersifat cair, dan merupakan suatu kontinum sehingga jenis kelamin tidak hanya terdiri dari laki-laki dan perempuan namun juga intersex dan transgender/transeksual, orientasi seksual tidak hanya heteroseksual namun juga homoseksual dan biseksual. Wajar jika kemudian pandangan tersebut mendapat legitimasi dari ajaran agama maupun budaya, sehingga kelompok orang yang seksualitasnya tidak sejalan dengan konsep tersebut (baca: kelompok LGBT) dianggap sebagai abnormal, dan tidak jarang mendapatkan perlakuan buruk baik dalam bentuk diskriminasi maupun kekerasan.
Kedua, asumsi berbanding lurus antara meningkatnya penderita HIV/AIDS seiring maraknya kelompok LGBT. Di Provinsi Kalimantan Selatan misalnya, penderita HIV/AIDS pada tahun 2015 terdata sebanyak 1194 orang, atau naik 15,07 % dari tahun 2014 sebanyak 1.014 (BPost,25/1/2016). Apalagi asalmu asal virus mematikan HIV/AIDS ditemukan di komunitas gay, di San Fransisco, tahun 1978. Ini mengindikasikan bahwa, jika aktivitas-aktivitas seks menyimpang kelompok LGBT, khususnya di Indonesia, semakin menjadi-jadi, dikhawatirkan menjadi faktor dominan dalam menularkan penyakit HIV/AIDS.
Terbatasnya HAM
Selain bertindak tegas, pemerintah juga diharapkan mampu memilah dengan bijak kepentingan dan kebutuhan kaum LGBT, terutama hak-hak dasar, sehingga tidak menciderai dan melanggar HAM. Salah satu pihak yang getol menyuarakan agar pemerintah dan masyarakat tidak mendiskriminasikan dan stigma negatif kelompok LGBT adalah Komnas HAM. Bisa dimaklumi jika Komnas HAM mendesak pemerintah khususnya untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak komunitas LGBT sesuai dengan konstitusi dan program Nawacita yang bertekad untuk memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antar-warga. Apalagi konsekuensi pasca fatwa MUI akan semakin menyudutkan komunitas LGBT dalam pemenuhan hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, hak untuk mendapatkan perlakuan hukum yang adil, dan hak atas kebebasan berekspresi
Kemudian, adanya Yogyakarta Principles (2006) sebagai hasil pertemuan para ahli HAM internasional diadakan untuk menyikapi berbagai penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan, dan diskriminasi terhadap kelompok seksual minoritas, semakin mendorong agar hak-hak kelompok LGBT dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara, terutama dalam hal perlindungan adil dalam hukum, pekerjaan, dan kesehatan. Kemudian, masalah penafsiran ajaran agama yang dirasakan mendiskreditkan kelompok LGBT sangat sulit untuk diubah sehingga stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap LGBT mendapatkan pembenaran dari masyarakat. Menguatnya fundamentalisme agama, dianggap memberikan andil besar dalam menghambat perkembangan perjuangan hak-hak LGBT.
Padahal, jelas di semua agama, dilarang terjadinya perkawinan sejenis. Di agama Islam, Allah telah menciptakan makhluknya berpasang-pasangan, untuk saling mengenal dan melestarikan keturunan. Selain itu, yang perlu dicatat juga adalah menurut UUD 1945 disebutkan bahwa hak asasi manusia itu terbatas, dibatasi oleh nilai agama, sosial, budaya, dan hak orang lain, dalam hal ini tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban lingkungan masyarakat. Artinya, aktivitas-aktivitas kelompok LGBT yang terbentur nilai-nilai agama dan sosial negara, serta meresahkan masyarakat, tentu tidak dapat dipenuhi. Misalnya, pasal 28 B ayat 1 amandemen UUD 1945 yang menyebutkan hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, tidak dimiliki oleh kelompok LGBT yang menganut paham social constructionism. Semoga. [*]
Oleh: Muh. Fajaruddin Atsnan
Dosen STKIP PGRI Banjarmasin