Pesatnya perkembangan media daring atau online, menjadikan media cetak seperti majalah, tabloid dan koran memasuki usia senjakala. Masyarakat tak lagi dapat update berita dari media cetak. Perkembangan berita terbaru sepenuhnya milik media online. Semua kejadian atau peristiwa disiarkan secara real time di dunia maya.
Dampak dari perkembangan media online ini bisa dilihat dari nasib harian sore nasional Sinar Harapan. 5 November 2015 lalu, manajemen menyatakan Sinar Harapan berhenti terbit karena terus merugi. Padahal oplah koran yang pernah dibredel Orde Baru ini pernah mencapai 340 ribu eksemplar perhari.
Sebelumnya Sinar Harapan, Tempo Media Grup juga terpaksa menutup koran edisi minggunya karena oplahnya tidak mampu menutup biaya produksi. Padahal, pada 2014 Grup Tempo meraih Rp 119 miliar lebih dari iklan. Yang berikutnya kolaps dan gulung tikar adalah harian The Jakarta Globe milik Lippo Grup dan Harian Bola milik Kelompok Gramedia.
Tentu tidak semua media bernasib seperti Sinar Harapan. Masih banyak koran harian yang masih tetap terbit dan meraup untung lewat oplah dan iklan. Namun, laporan dari Media Nielsen Indonesia kue iklan untuk media cetak terus menurun. Contohnya pada periode awal 2014 antara Januari-Maret, belanja iklan di media cetak minus satu persen. Transaksi iklan di periode awal tahun ini bisa menggambarkan pendapatan iklan media selama sembilan bulan ke depan. Karena pada Januari sampai Maret adalah masa penandatangan kerjasama antara media dan pengiklan. Perusahaan banyak beralih ke media daring karena lebih murah. Ketika media cetak memasuki senjakala karena serbuan media online. Apakah ada cara agar tetap eksis?
Suatu hari, wartawan Amerika Latin, peraih nobel bidang sastra, Gabriel Garcia Marquez atau yang akrab disapa Gabo membuka kelas jurnalistik yang diberi nama ‘sekolah tanpa tembok’. Sebelum memulai pelajaran, Gabo akan meminta murid yang rata-rata wartawan, untuk menunjukkan medianya kepadanya. Gabo ingin melihat halaman depannya. Bila halaman depannya tak memuat berita lokal dimana koran itu terbit, Gabo akan mengkritik. “Harus ada berita lokal di halaman depan”.
Kritik Gabo cukup beralasan karena alasan utama orang membeli koran adalah mereka ingin tahu apa yang sedang terjadi di daerahnya. Peristiwa-peristiwa besar nasional yang sedang terjadi di Indonesia tidak akan menarik pembaca bila ditaruh di halaman depan. Karena orang sudah banyak memperoleh informasi serupa lewat televisi, media sosial dan online. Contohnya peristiwa serangan teroris di Jakarta beberapa waktu lalu, sebelum televisi menyiarkan, gambar-gambar aksi para teroris telah menyebar luar lewat media sosial. Bila dimuat kembali dalam koran tanpa ada penggalian data dan fakta baru, akan terasa sangat basi.
Kehadiran media sosial, menurut buku Blur karya Bil Kovack juga mengubah fungsi ruang redaksi. Kini tugas wartawan bukan lagi penyampai informasi tapi pelurus informasi sampah yang juga banyak menyebar lewat media sosial. Misalnya, saat serangan teror di Jakarta menyebutkan ada belasan titik serangan teror selain di Jalan Tamrin sebagaimana banyak tersiar lewat media sosial. Maka tugas wartawan adalah memastikan benar tidaknya informasi itu.
Langkah lainnya adalah memperbaiki isi konten berita. Tulisan yang muncul di koran harus mendalam dan ada unsur analisisnya. Sebab jika tidak, berita akan terasa basi karena tidak ada bedanya dengan berita yang terbit di media online. Ini tentu tidak mudah karena kebanyakan wartawan masih dibebankan target harus menulis sekian berita dalam sehari. Sementara menulis dengan mendalam perlu jam terbang selain tentu ketekunan dan biasanya berita mendalam tidak selesai dalam sehari.
Namun setidaknya ada yang bisa dilakukan media cetak agar tidak kehilangan pembacanya yaitu menyajikan berita keras (hard news) lewat sudut pandang berbeda. Misalnya ada berita pembegalan, media online akan menurunkan judul “tiga pembegal diringkus”. Media cetak harus menghindari judul-judul seperti ini di halaman korannya agar tidak mudah ditebak oleh pembaca. Media cetak bisa mengambil angle menarik lainnya dari peristiwa yang sama, misalnya ada keterangan dari korban bahwa sepeda motor hasil pembegalan bisa ditebus. Cerita ini layak dijadikan judul dan angle berita untuk menarik minat pembaca.
Saya percaya konten berita yang baik, akan menarik minat pembaca. Semakin banyak pembaca tertarik, maka oplah koran akan meningkat, bila oplah meningkat maka akan dengan sendirinya pengiklan datang memasang iklan. Karena sudah pasti pengiklan mutlak hanya akan beriklan kepada media yang paling banyak pembacanya.
Bisnis media adalah bisnis kepercayaan, pembaca membeli koran karena percaya bahwa berita yang ditulis kredibel. Pemilik media akan ‘menjual’ kepercayaan publik itu kepada pemasang iklan. Ada timbal balik. Jangan berharap iklan datang, bila kita tidak mengedepankan kepentingan publik dalam pemberitaan.
Cara di atas setidaknya sukses dipraktikkan oleh harian The New York Time. Awalnya koran ini hanya menurunkan berita sensasional. Namun setelah dibeli seorang pengusaha Adolp Osch pada tahun 1983, kebijakan redaksi diubah dan mengutamakan berita kepentingan publik. Terbukti sampai hari ini New York Time jadi salah satu media terbaik di dunia.
Hal serupa juga dilakukan pengusaha Eugene Meyer ketika membeli harian The Washington Pos pada 1933. Pada halaman depan, koran ini menulis pengumuman. “dalam rangka menyajikan kebenaran, surat kabar ini kalau perlu mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat luas”.
Pada akhirnya, media cetak mutlak perlu berinovasi dalam menyajikan berita dan tetap konsisten mengedepankan kepentingan publik di atas kepentingan apa pun agar bisnis media cetak tetap menguntungkan di tengah-tengah pesatnya media online. [*]
Oleh: Musthofa Bisri
Pecinta Jurnalistik