PROBOLINGO | koranmadura.com – Saat harga cabai sedang melambung, petani justru dihadapkan pada masalah tanaman yang membusuk. Akibatnya, petani tidak menikmati tingginya harga yang terjadi saat ini. Alih-alih menikmati keuntungan dari tingginya harga, petani justru dibayang-bayangi kerugian.
“Lahan tanaman cabai selama musim hujan, dampaknya sebagian tanaman rusak dan mati. Karena terserang hama, batang, daun, dan buah membusuk. Dari lahan seluas 1.000 meter persegi yang ditanami cabai, tanaman yang tersisa hanya sekitar tiga puluh persen,”ujar Homsiyah (30), petani Cabai di Desa Kebonagung, Kecamatan Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, kepada wartawan, Minggu (20/3).
Homsiyah, mengatakan, harga cabai rawit yang kian melambung tidak mempengaruhi pendapatan sejumlah petani. Kondisi ini terjadi karena tanaman cabai rawit petani rusak. Tidak hanya batang dan daun kering, buahnya juga membusuk.
“Kerusakan cabai terjadi karena anomali cuaca. Tak menentunya curah hujan yang turun dan sekali panas terik membuat cabai mudah busuk. Karena air hujan tidak bisa membuat tanah kesat atau kering, sehingga tanaman cabai mati. Ya jelas rugi, kalau gak mati bisa untung karena harganya tinggi,” tandasnya.
Tak hanya itu, pengaruh serangan hama bercak bakteri, juga berpengaruh. Hama bercak bakteri menggerogoti hampir seluruh bagian tanaman. Serangan bakteri ini ditandai dengan bintik-bintik coklat dibagian tengah dan dikelilingi lingkaran klorosis tidak beraturan.
“Akibat kerusakan itu, dalam satu petak tanah ukuran 100 are, petani hanya mampu memanen sebanyak 30 kilogram, padahal jika normal mencapai 80 kilogram,”ucap Homsiyah.
Petani cabai lainnya, Suryani ( 34), mengatakan, kerusakan tanaman sangat disayangkan petani, sebab harga cabai rawit saat ini merupakan yang tertinggi. Selama mereka panen dalam dua bulan terakhir, harga jual ditingkat petani kini menembus Rp 35 ribu per kilogram.
Agar tidak menderita kerugian, petani terpaksa memanen cabai muda dengan harga jual lebih rendah. Bahkan, ada juga yang memanen cabai muda dengan batangnya.
“Batang tanaman yang mengering kami cabuti untuk ditanami cabai kembali. Harga cabai rawit setan di tingkat petani bisa mencapai Rp 45.000 per kilogram. Karena pasokan cabai dari petani berkurang, harganya jadi naik,” kata Suryani.
Itu pun, lanjut Suryani, pertumbuhannya sudah tidak optimal karena daun dan buahnya keriting. Padahal, tanamannya sudah berusia sekitar 3 bulan, yang pada kondisi normal sudah bisa dipanen. ”Mau cepat panen, tanamannya tetap hidup saja sudah beruntung,” tuturnya.
Yang dilakukannya saat ini, yakni berusaha agar tanaman bisa bertahan hingga musim hujan mendatang. Itu pun, tidak menjamin tanamannya bisa produktif mengingat kondisi saat ini sudah keriting.
”Sekarang dipupuk dan disemprot penguat daun agar tidak rontok. Kondisi saat ini menjadikan petani kelimpungan. Di saat harga cabai sedang tinggi, petani malah berkutat dengan ancaman gagal panen. Belum ngomong untung, yang penting tanaman bisa bertahan hidup,”papar Suryani.
(M. HISBULLAH HUDA)