Seperti biasa, sesampainya di pantai kusapukan pandangan mengitari cemara, sungai dan, ombak yang menggulung. Badur. Pantai ini elegan. Tebing, goa, perahu, semua ada. Eksotis.
Tepat di dekat sungai ujung penglihatanku membentur sosok lelaki yang dua hari terakhir kulihat kini kembali duduk dan termenung di tempat yang sama, entah apa yang ia pekirkan?
Penasaran, kuberanikan diri menghampirinya sekedar ingin mengajak bicara dan mencari tahu ada kisah apa di balik lelaki mesterius itu.
Aku duduk tepat di sebelahnya setelah kemudian membakar lintingan tembakau dan menghembuskan asap penuh nikmat ke udara.
“Merokok, mas,” tawarku. Kujulurkan sebatang dari bungkusnya. Meski ia ragu, mungkin karena kami belum kanal, namun akhirnya ia menarik batangan rokok di tanganku. Kusodorkan pula pemantik api yang langsung di sambutnya.
“Tidak perlu, mas, panggil saja Joko,” ujarnya, kemudian mengalihkan pendangan ke tengah laut.
“Melihat caramu menatap laut, aku tahu ada sesuatu yang tersimpan di sini dan di sana,” kataku. Aku juga ikut menatap laut lakat-lekat.
Joko tetap diam dan menikmati lintingan tembakau menyala yang di hisapnya, ia seolah tak terusik oleh kataku.
“Mengapa kamu ingin tahu?”
“Sebanarnya kaulah yang memancing keinginanku untuk tahu, Jo. Tiga hari duduk di tempat ini dengan posisi duduk yang sama pula cukup membuatku penasaran!”.
“Yang kulakukan di sini tidak aneh, tapi orang-orang yang melihatku selalu berkesimpulan bahwa aku orang aneh!”.
“Lantas apa yang membuatmu betah berlama-lama disini?”.
“Ketika aku di sini, aku sedang mengingat kenangan yang akan selalu membuatku rindu padanya. Pada adikku. Aku suka merindukannya”.
“Apa adikmu itu masih ada?”.
“Ada”. Kemudian Joko menggeser duduknya lebih dekat padaku. “aku bisikkan sesuatu” katanya. Aku mendekat. “Seharusnya aku menikahi adikku lebih dulu sebelum malam membawanya bersama laki-laki lain yang tahun lalu telah membuatnya sakit hati”.
“Kau menyesal..?”.
“Tidak. Tidak sama sekali!”.
“Kalau kau tidak menyesal, aku ragu kau masih waras atau tidak”.
“Tidak hanya kamu yang beranggapan aku gila, tapi sudah hampir semuanya. Aku masih normal. Hanya saja aku tetap memelihara rindu haramku bersama semua kenangan masa lalu. Mungkin itu salah satu alasan mengapa aku merayakannya setiap sore di pantai ini. Disinilah untuk yang pertama kali aku memeluknya cukup mesra”.
“Kau sangat mencintainya?”.
“Jika kamu tahu qois yang kemudian di juluki majnun karna cintanya yang terlalu besar pada laila hingga membuatnya gila. Maka di masa sekarang akulah orangnya,” Joko berdiri, membuang puntung rokok yang telah usai dalam hisapan terahir.
“Sudah hampir magrib, aku harus pulang,” lanjutnya. Lantas ia melangkah pergi meninggalkanku seolah tanpa beban sama sekali. Aku? Aku tetap menatapnya tak mengerti. Tak mengerti bagaimana cara berpikir Joko tentang adiknya. Tak memgerti mengapa tiba-tiba aku peduli pada Joko yang baru beberapa menit kukenal.
***
Malam berlalu berteman dingin yang menusuk tulang, pagi juga beringsut ditelan siang, perlahan sore datang akan melukis senja di garis cakrawala. Kembali aku menemui Joko di tempat yang sama. Kini aku tidak banyak bertanya, melainkan larut dalam cerita getirnya tentang adik sepupu yang ia cintai. Padahal dulu, jauh hari sebelum adiknya bertunangan, kakak perempuannya telah menawarkan ia dan adiknya bersatu. Namun Joko lebih memilih gengsi dan takut di ejek teman-temannya apabila itu benar-benar terjadi. Meski banyak pertimbangan dari segi kekeluargaan tentang positif negatifnya hubungan itu, ternyata ibu Joko juga menyukai keponakan yang sempat di rencanakan menjadi pasangan Joko.
“Keluargaku akan menertawakanku bila mereka mendengar cerita ini. Seharusnya aku tidak bercerita pada siapapun. Termasuk padamu, karna kamu juga akan menertawakanku. Hanya pantai ini yang akan terus bersimpati dan mau menampung segala ceritaku yang sebenarnya telah mati. Mati di telan ilusi bohong dan harapan yang kandas”
Senja memerah saga. Aku tenggelam bersama bayangan tentang semua cerita Joko. Pasti ia sangat tersiksa dengan perasaannya. Seperti zainuddin dalam novel ‘tenggelamnya kapal van der wijc’ yang hampir terbunuh oleh cinta lantaran hayati menolak lamarannya. Cuma cerita Joko sedikit berbeda.
***
Suatu sore, aku tidak menemukan Joko duduk di pantai. Namun di perjalanan pulang sepeluh meter sebelum rumah aku melihat Joko bersama istriku ngobrol begitu akrab. Tawa mereka lepas, selepas angin menerpa pepohonan. Baru setelah Joko pergi aku melangkah menghampiri istriku.
“Kamu kenal lelaki itu, sayang?”.
“Masak, mas tidak mengenalnya? Oh, aku lupa kalau mas belum tahu banyak tentang semua kerabatku. Itu tadi kakakku, kakak sepupu”.
“….?!!” tidak mungkin…
Cerpen: Syafme
Nama pena dari Nawirto yang lahir di Sumenep. Kini aktif Sanggar Semesta sebagai ketua, juga aktif di LAOR (langgar oretan) di Sumenep.