Tidak semua orang memiliki keponakan, beruntungnya lagi sang keponakan yang sangat sayang padaku dan sebaliknya aku pun sayang padanya. Sang keponakan pun luluh jika bersamaku, rasanya dia ingin sekali dimanja dan dikasihaniku. Rasanya kasih sayang yang kuberikan tidak ingin terbagi dengan siapa pun. Kehadiranya menambah daftar kebahagiaan di dunia, dialah sang keponakan kecilku.
“Adek,” panggilanku padanya. Dia pun memanggil “kakak” padaku. Biar tidak ada batas antara aku dan dirinya. Tak mengapa meski kami tak mengikuti kebiasaan yang lumrah dipakai dalam panggilan antara aku dan keponakanku, seperti bibi dan sebagainya.
Sejak dia lahir sampai sekarang, yang bulan Januari 2016 lalu usianya genap berumur 7 tahun. Sejak kecil aku dan dia sudah terbiasa bersama, sesekali aku mengajak dia jalan-jalan rasanya dia senang sekali. Apalagi sejak aku mempunyai sepeda motor sendiri. Setiap kali aku pulang ke rumah dan libur kuliah dia selalu minta antar-jemput ke sekolahnya.
Serasa kebahagianku dan dirinya sangatlah lengkap. Saat aku pulang ke rumah pastinya lebih banyak kebersamaanku dengan nya. Mulai membimbing dia belajar agama atau pun umum.
Kebersamaan itu tidak hanya sampai di sana saja. Tidurnya pun tidak akan mau jauh-jauh dariku. Biasanya tidak lepas dari pelukan sang ibunya, namun jika aku sudah pulang dia tidak akan ingat lagi pada pelukan hangat sang ibunya.
Waktu terus berguliur, hingga sampai pada suatu masa di mana saat sepeda motor itu harus dijual karena demi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebenarnya hati tidak terima dengan hal itu. Keponakanku sesekali menanyakan sepadaku.
“Kenapa setiap pulang dari kampus tidak pernah bawa sepeda motor lagi?” tanya dia.
Aku diam saja, namun dalam hati kecilku berkata, “percuma, dek meski aku jelaskan, kau masih terlalu kecil untuk mengerti masalah orang dewasa,” gumamku.
Saat itulah aku dan keponakan kecil itu harus merelakan kebersamaan. Tetapi perlahan-lahan akan merasakan biasa-biasa saja dengan berjalan kaki. Mungkin dengan jalan-jalan saja dia merasa senang jika bersamaku.
Sempat beberapa waktu saat aku pulang dengan membawa sepeda yang aku pinjam pada teman, aku di sambut dengan senyum indah dari keponakanku. Aku melihat senyum bahagia yang menuai di bibir manisnya.
“Kakak punya sepeda lagi, hore-hore! Ayo jalan-jalan, kak!” tiba-tiba dia menghampiriku dan mengajakku jalan-jalan. Pada hal aku capek, tapi tak mengapa dengan senyuman dia semangatku pulih kembali.
Mungkin dia kangen padaku, karena sudah lama tidak jalan-jalan denganku naik sepeda motor. Untuk menghapus sedikit rasa kesalnya yang jelas terpancar di wajahnya, aku bilang “tenang dek nanti kan kakak ada di sini sampai tanggal 10 jadi kakak bisa antar adek ke sekolah nanti ya!“ sambil aku elus-elus kepalanya. Senyum terpaksa kulihat di wajahnya, lalu dia keluar dan menduduki sepeda itu sembari sambil main-main seperti sudah penyetir yang sangat handal.
Waktu pun berlalu, di mana seluruh aktivitas perkantoran dan instansi lainya masuk kerja lagi. Tidak lupa pula dengan sebuah lembaga pendidikan.
Saking semangat mau sekolah pukul 5.30 WIB dia pun sudah bangun, yang biasanya harus di bangunin sekarang dia bisa bangun sendiri. Entah apa yang ada di benaknya saaat itu, akupun tak bisa menebaknya. Semua persiapan berangkat sekolahnya aku yang di minta untuk menyiapkannya, mulai memandikannya, menyuapi sarapan, menyiapkan mata pelajaran bahkan memakaikannya baju sekolah pun aku yang membantu memakaikanya. Ibunya yang merupakan saudaraku hanya tersenyum padanya di kala itu. Aku pun tidak lupa menepati janjiku padanya mengantarkanya berangkat ke sekolah. Senang sekali rasanya dia naik sepeda bersamaku, yang terlihat tak henti-hentinya dia bergoyang di atas sepeda motor itu.
Jam pun menunjukkan jam 10:00 WIB,keponakan ku yang masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah itu jelasnya sudah pulang.Tapi pada saat itu aku tidak bisa menjemputnya ,aku kira dia akan pulang sama anak-anak lainya, yang satu sekolahan dengannya.sambil ku tunggu kedatangannya .Sudah banyak anak-anak yang datang diantaranya naik pick up yang sering beralu lalang di depan rumah ku,tapi dia tidak ada di sana.Tidak lama kemudian aku melihat tubuh mungil itu mulai muncul dari kejauhan,kelelahan itu jelas terlihat di wajahnya, kakinya yang kecil dan jalanya yang lirih menandakan dia sudah lelah dalam perjalanya, dan sepertinya ada rasa kecewa juga di benaknya.
Setiba di rumah aku pun bertanya padanya. “Dek, kenapa tidak barengan sama teman-temanya adek?” begitu ujar ku sambil kupeluk dan menaikanya ke pangkuanku.
Dia menjawabnya dengan lirih yang jawaban itu membuat ku sedih.
“Kan ada kakak, kiranya adek akan di jemput sama kakak.” jawabnya.
Nampak wajah sedih dan letih di wajahnya, dengan nafas yang masih terbata-bata. Aku pun diam saja tanpa septah kata yang terucap dariku. Sambil dia cerita
“Kak, tadi adek diajak sama teman-teman adek naik mobil pikap itu, tapi adek tidak mau, Adek takut kakak jemput adek kemudian adek tidak ada di sana. Kan kasihan nantinya. Jadi aku tidak ikut,” katanya.
Aku berkata dalam hati segitu sayang dia padaku dan begitu besar pula harapanya padaku. Sampai menengaskan lagi kata-katanya.
“Kak, kenapa adek tidak dijemput?” tanya dia mempertegas lagi pertanyaannya dengan nada sedikit kesal.
”Kamu kan tidak bilang, dek kalau minta jemput,” ujarku dengan nada lirih sambil sedikit meneteskan air mata.
Bapakku yang waktu itu kebetulan duduk di dekat kami sedikit membela adek.
“Iya keponakanmu itu minta dijemput sama kamu,” katanya padaku.
Membuat aku berfikir lagi. Tak terasa air mata menetes begitu saja. Aku pun pergi ke kamarku, untuk meluapkan rasa bersalahku dengan tangisan saja.
Tak lama kemudian keponakan kecilku datang, langsung kupeluk dia. Mungkin saja dalam hatinya berkata kenapa aku menangis? Kuberi dia uang Rp 1.000 untuk menghapus rasa lelahnya itu. Mungkin baginya uang itu mempunyai dominal tinggi. Lalu dia beranjak keluar untuk membelanjakan uangnya itu.
Namun, rasa bersalah itu tetap aku rasakan. Dalam hati aku berjanji, tidak akan lagi kusia-siakan jika masih ada kesempatan kedua untuk membahagiakan. Doakan saja ya, dek jika aku sudah mempunyai sepeda motor sendiri tidak akan kubiarkan kaki mungilmu itu berjalan di atas hamparan tanah menuju sekolahmu itu dan tidak akan kubiarkan pula rasa letih di wajahmu itu terus terlihat. Selama aku ada bersamamu. Perjuanganku untuk keluarga dan untukmu sang keponkan kecilku.
“I love you,”
2016
Cerpen: Hosniyah
Lahir di Sumenep 24 Agustus 1993. Tepatnya di Desa Bakeong, Guluk-Guluk. Kuliah di Universitas Islam Madura Prodi Teknik Informatika. Akif di organisasi PMII UIM Pamekasan.