
SUMENEP | koranmadura.com – Peruntukan dana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) senilai Rp 5 miliar untuk bangunan Silo Jagung dan Gudang Beras dinilai hanya buang-buang anggaran semata. Sebab meskipun pembangunannya sudah selesai sejak beberapa tahun terakhir ini, namun bangunan itu tak kunjung difungsikan. Bahkan anggaran pemeliharaan tetap jalan.
Berdasarkan pengamatan, Silo Jagung di Kecamatan Bluto dan Gudang Beras di Kecamatan Ganding terlihat angker. Bahkan layak menjadi penghias dan dimusiumkan.
Kapala Dinas Peridustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sumenep Syaiful Bahri membenarkan hal itu. Katanya, biaya perawatan dan pemeliharaan dua gedung raksasa itu setiap tahunya mencapai puluhan juta. Anggaran tersebut diambil dari dana APBD tingkat II.
Ia merinci bahwa anggaran pemeliharaan itu digunakan untuk dana perawatan sejumlah fasilitas yang sudah ada. Seperti pemeliharaan mesin silo jagung di Kecamatan Bluto. ”Selain itu untuk honor petugas yang piket saat malam hari,” katanya.
Sementara untuk gudang beras di Kecamatan Ganding sebagian gedungnya sudah ambruk. Sehingga jika dibiarkan dalam kurun waktu dua tahun ke depan, bisa dipastikan akan roboh dengan sendirinya.
”Kami belum bisa melakukan perbaikan. Karena belum ada pelimpahan ke daerah meskipun kami telah mengirim surat agar segera dilimpahkan,” terangnya.
Kendati demikian, pihaknya mengaku siap untuk menerima jika dalam waktu dekat ada pelimpahan wawenang dari pemerintah pusat. Sebab, diyakini adanya dua bangunan tersebut banyak memberikan manfaat bagi petani.
”Tetap kami terima meskipun kondisinya seperti itu. Saya kira APBD mampu jika hanya untuk melakukan perbaikan,” tegasnya.
Terpisah Anggota Komisi II DPRD Sumenep Juhari mengatakan, dirinya sebagai wakil rakyat akan menolak dengan tegas pelimpahan itu sebelum dilakukan perbaikan. ”Perbaiki dulu bangunan itu baru dilimpahkan. Jika tidak, pasti kami yang pertamakali akan menolak,” katanya.
Dikatakan, selama ini daerah terkesan hanya dijadikan sebagai lokasi pembuangan proyek. Buktinya, banyak proyek yang dibiayai melalui non APBD tingkat II yang mangkarak. Itu disebabkan karena tidak memperhatikan kondisi, melainkan hanya memikirkan soal penghasilan.
“Prinsipnya kami sangat mendukung adanya pembangunan infrastruktur di Sumenep, baik yang dibiayai oleh APBN maupun APBD Provinsi. Tapi yang kami sesalkan banyak pekerjaan proyek yang dibiayai non APBD Sumenep, ternyata tanpa koordinasi terlebih dahulu dengan pihak legislatif,” katanya.
Diketahui, adanya dua bangunan tersebut terjadi pada tahun 2009. Entah atas dasar apa, pemerintah pusat menggelontorkan anggaran sekitar Rp 5 miliar untuk dua bangunan itu.
Proyek tersebut merupakan salah satu proyek percontohan BAPPEBTI (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi) di bawah Departemen Perdagangan (sekarang kementerian). Hingga kini tidak satupun proyek yang beroperasi dan bermanfaat bagi masyarakat. (JUNAIDI/SYM)