Burung-burung bernyanyi lirih, daun-daun luruh terpisah dari tangkai ke tangkai. Mentari tertunduk mendekati senja yang menjadi tempat pelabuhan siang dan siap melepas sang mega perpisahan.
Sore itu, aku seperti orang yang sibuk mundar mandir kesana kemari, menyiapkan barang-barang dan meletakkannya ke dalam kardus. Aku akan kembali ke jogja, merantau, setelah empat hari aku pulang kampung karena ayahku yang sedang sakit. Ayahku terkena infeksi paru-paru dan dirawat di rumah sakit selama selama satu minggu. Kata dokter, penyakitnya sudah terlanjur parah dan sulit untuk disembuhkan. Akibat penyakitnya itu, ayah seringkali batuk darah dan sulit makan. Tenggorokan ayah sudah terinfeksi dan luka memar. Kata ayah, dia disantet melalui gula oleh teman kerjanya waktu dulu masih bekerja di desa orang lain sekitar satu tahun yang lalu. Saat itu ayah sedang tidur dengan mulut ternganga dan disuap dengan gula merah oleh temannya, kemudian tertelan. Menurut ayah, gula itu bisa mengakibatkan penyakit batuk berkepanjangan dan berakhir pada kematian. Sudah banyak korban berjatuhan. Hal itu membuatku semakin hawatir dengan keadaan ayah.
Semua barang bawaan telah aku siapkan. Aku melangkahkan kaki pelan menghampiri ayah yang sedang duduk termanggut di langgar tempat makan tidurnya layaknya rumah, sambil menempakan dagu di atas lututnya. Sekilas aku lihat raut mukanya yang pucat dan berkerut, kehilangan daging akibat penyakitnya. Ayah tampak takut berpisah lagi denganku yang akan kembali merantau ke jogja, tempat aku kuliah. Aku terpaksa berangkat untuk melanjutkan kuliahku yang sudah empat hari ditinggalkan.
Air mata ayah mengalir seakan tak kuasa melepas kepergianku, tampak baginya hari ini adalah hari terakhirku bersamanya.
“Ayah, aku berangkat!” aku berpamitan dengan suara lirih, selirih tangisan hati yang tak tega berpisah dengan ayah. Aku mencium tangannya yang kaku. Tak terdengar suara jawaban darinya, hanya katupan bibirnya yang lunglai dan tangan yang menyeka air matanya seakan tidak rela melepasku.
“Maafkan aku, ayah!” gumamku dalam hati. Aku terpaksa berangkat ke jogja karena misi pendidikan yang tak bisa aku tinggalkan.
Aku melangkah turun dari langgar. Aku bersalaman dengan semua keluargaku dan orang-orang yang ada di sekitarku. Aku menolehkan muka pada ayah masih termanggut di langgar. Semakin tampak muka sedih dan aliran air matanya. Hatiku menangis. Namun aku tetap menampakkan muka yang biasa saja seakan tidak terjadi apa-apa. Kemudian aku berangkat di antar pamanku ke terminal bus kota.
Di perjalanan, anganku terus bergumam tentang ayah. Entah apa yang akan terjadi setelah ini. Aku tak berhenti berharap keajaiban Tuhan agar ayah segera sembuh dari penyakitnya, sampai suatu saat aku kembali ke rumah dan membalas budi ayah yang telah membahagiakanku sejak kecil.
Hari demi hari berlalu. Aku sering menelpon kakakku untuk menanyakan kabar ayah.
“Ayah baik-baik saja. Hanya saja dia sulit makan karena tenggorokannya sakit. Minum obat juga jarang. Katanya dadanya panas, gak kuat.” Kata kakakku suatu ketika lewat telpon. Kehawatiranku terus mendesah. Karena yang aku tahu ayah masih kuat makan dan minum obat di hari-hari kemaren. Tapi aku tetap tabah dan menunggu keajaiban.
“Sekarang ayah tidak mau minum obat lagi, li.” Kata kakakku itu membuat badanku bermandikan peluh seakan kehawatiranku terus terjadi.
“Dipaksain dong, kak! Biar sembuh…!” kataku dengan nada sedikit mendesak kakakku.
“Ya, dia gak mau.” Jawabnya dengan nada negatif. Kemudian aku meminta kakak untuk memberikan telponnya kepada ayah. Aku ingin berbicara sendiri dengannya.
“Ayah, sampeyan harus minum obat. Biar sembuh!” kataku mendorong ayah untuk terus meminum obatnya yang diberikan dokter.
“Ayah sudah tidak kuat, nak. Panas!” kata ayah dengan suara terputus-putus karena tenggorokannya yang sakit.
“Ya Tuhan, ada apa ini?” gumamku menangis dalam hati.
“Mungkin ayah tidak akan bertemu lagi denganmu. Kamu jangan nangis. Ayah minta maaf!” lanjut ayah dengan suara putus-putusnya.
“Ayah gak boleh ngomong gitu! Aku masih butuh ayah. Ayah harus kuat! Ayah harus kuat……….!” aku berseru dengan kucuran air bening di mataku yang tak bisa aku tahan.
“Mungkin sudah waktunya!” ayah menegaskan dan menutup telponnya, seakan kami benar-benar akan segera berpisah alam. Hatiku menjerit, sedih.
Di malam hari setelah kejadian itu, aku ditelpon oleh tetangga di rumah. Dia bilang penyakit ayah semakin parah. Ayah sudah tidak lagi bisa bicara dan aku diminta untuk pulang. Aku pun pulang bersama temanku di malam itu. pikiranku kacau tak karuan, entah apa yang sebenarnya terjadi. Langit bukan lagi cerita tentang rembulan dan kerlipan cahaya bintang-bintang, melainkan bayangan malaikat yang tersirat dalam keheningan jiwa dan siap menghunus cambuk kematian yang begitu menyedihkan.
Bayangan itu menghantarkanku pada fajar pagi tanpa tanda apa-apa. Hanya kehawatiran yang terus bergumam.
“Ayah masih ada, kan?” tanyaku dengan nada cemas pada kakakku lewat telpon.
“Masih. Tapi kamu jangan marah kalau misalnya nanti terjadi apa-apa.” Jawab kakakku mencemaskan.
“Maksudnya?” tanyaku dengan nada yang lemah.
“Nanti saja kalau sudah sampai ke rumah.” Kakak menutup pertanyaanku dengan jawaban penuh kehawatiran dan tanda tanya. Aku masih percaya bahwa ayah belum pergi. Karena yang aku tahu, Tuhan itu tidak kejam. Tidak mungkin Dia mengambil nyawa ayah sebelum aku bertemu untuk yang terakhir kalinya.
Jam menunjukkan sekitar pukul sepuluh pagi. Aku dijemput ke terminal bus kota oleh pamanku. Aku sudah tidak sabar ingin segera melihat keadaan ayah. Di perjalanan pulang, paman menancapkan gas motornya sampai kami terjatuh.
“Astaga! Pertanda apa ini?” gumamku dengan perasaan gelisah. Beruntung kami tidak mengalami luka parah dan masih mampu melanjutkan perjalanan.
Beberapa saat kemudian aku tiba di halaman rumah tetangga. Aku melihat rumahku. Air mataku mengalir serasa dunia benar-benar telah berakhir setelah kulihat tenda terpasang di halaman rumah sebagai tanda terjadinya kematian. Aku menangis, menjerit dan memanggil nama ayah sekeras-kerasnya. Aku menggila, tak ingat siapa-siapa. Hanya jeritan jiwa, mengamuk pada orang-orang yang mencoba merangkul badanku dan membawaku ke hadapan ayah yang tak kuduga kepergiannya.
“Ayah…………….! Buka matamu sekali saja, ayah!” teriakku berkali-kali memanggil ayah yang sudah terkujur kaku di hadapanku. Namun, semuanya percuma. Hanya kepingan harapan yang telah usang termakan kematian yang begitu kejam, memisahkan jiwa-jiwa yang kesepian dengan kucuran air mata yang tak kunjung selesai. Dunia telah dipermainkan sedemikian rupa, selaksa sandiwara matahari yang tak punya hati menghadiahkan senja pada bunga yang ingin mekar merangkul daun-daunnya sebelum gugur di telan bumi. Dunia memang penjara kematian.
Setelah beberapa saat kemudian, aku pun siuman. Air mataku habis terkuras. Ayah sudah pergi sejak aku masih di jogja dan ditelpon untuk segera pulang. Hari itu adalah hari kehilangan bagiku untuk yang kedua kalinya setelah sebelumnya aku di tinggal ibu sejak kecil. Kini, aku harus berani sendiri menjalani hidup dan menjadi harapan masa depan keluargaku. Aku masih yakin, Tuhan tidaklah kejam.
Sore semakin beranjak petang. Kisah tentang cakrawala harus berakhir sebelum sampai di akhir cerita dan pasrah untuk diabadikan pada prasasti senja.
Ayah, kuhadiahkan kisah ini untukmu
Bukan apa-apa, hanya sebuah cerita yang akan membuat ruhmu kembali hidup
Hidup dalam hikayat perjuangan yang tak kunjung usai
Tentang perasan keringatmu untuk membahagiakanku
Ayah, Kuberikan cerita ini untuk air mata terakhirmu
maafkan aku yang tak bisa membalas semua kebaikanmu
Hanya kukirimkan sebaris do’a dengan linangan air mata
Semoga kau bahagia di sisi-Nya, di alam sana
Yogyakarta, September 2015
Ali Munir S., lahir pada tahun 1994 di Sumenep Madura. Sekarang mahasiswa Jurusan Manajemen Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.