UU Pemilihan Kepala Daerah yang berlaku sekarang secara rinci mengatur proses pelaksanaan berjalan murah meriah. Para kandidat diharapkan tak perlu lagi jor-joran mengeluarkan biaya kampanye, mahar dan lainnya. Seluruh proses mengajak partisipasi masyarakat pemilih bersikap obyektif; jauh dari kesemarakan semu bernuansa politik uang.
Terkait dukungan dari partai politik misalnya, UU Pilkada dari sejak awal mewanti-wanti agar jangan sampai ada mahar dan sejenisnya. Sanksinyapun tergolong berat. Bila terbukti calon membayar dan bermain uang, dapat didiskualifikasi atau seandainya menang dianulir. Lalu partai politik yang bermain uang dikenakan sanksi tak boleh mengajukan calon pada Pilkada periode mendatang.
Kampanye umum tak boleh lagi sehingga cost akan jauh lebih hemat. Kampanye bersifat indoor dan terbatas sehingga tak menganggu aktivitas masyarakat. Sosialisasi difasilitasi KPUD, termasuk kampanye yang diarahkan dialogis. Semuanya diupayakan agar para kandidat maju sebagai calon berbiaya murah meriah.
Apa pertimbangannya? Sederhana. Ketika para calon kepala daerah jor-jor potensi terpeleset sangat terbuka bila sudah tampil memimpin daerah. Langsung atau tidak langsung akan merebak semangat ingin balik modal. Apalagi bila modal proses pemilihan sejak awal dari sponsor kalangan pengusaha. Permainan proyekpun potensial terjadi sebagai bentuk balas jasa.
Fakta dan data sudah memperlihatkan bahwa ketika kebiasaan lama itu berkembang, jor-joran, merebak semangat balik modal, jalan pintas ditempuh. Akhirnya seperti yang terjadi, dari hasil Pilkada periode lalu ada sekitar 340 kepala daerah berurusan aparat hukum; menjadi pesakitan.
Dengan keseriusan pemerintah melaksanakan penegakan hukum; pembenahan sistem pengadaan barang dan jasa yang biasa jadi ajang permainan mencari uang haram dalam proyek pemerintah daerah, sudah pasti “main-main” proyek berisiko tinggi. Keharusan penyederhanaan proses perizinan, larangan keras politisasi birokrasi senyatanya makin menutup peluang kepala daerah bermain-main dengan jabatan. Jika nekad peluang berurusan hukum sangat terbuka.
Areal riil dinamika pengelolaan dan pengawasan hukum roda pemerintahan daerah itu seharusnya dipahami para kandidat kepala daerah. Mereka agar berpikir dan berhitung ulang jika ingin jor-jor atas dasar asumsi bisa mengupayakan balik modal saat berkuasa melalui permainan proyek. Belum lagi, itu tadi, resiko hukum dianulir kemenangannya atau didiskualifikasi proses pencalonannya.
Jangan lupa UU Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014 sangat luar biasa mengatur pengawasan kepala daerah. Keharusan kepala daerah menjalankan tugasnya sangat ketat. Sekedar contoh tak bisa lagi kepala daerah bersibuk ria melakukan loby keluar daerah tujuh hari berturut-turut dan tidak berturut-turut. Belum lagi pengetatan anggaran akibat keterbatasan anggaran yang sangat terasa belakangan ini. Semuanya menegaskan bahwa semangat menjadi kepala daerah tak bisa lagi atas dasar “mimpi” mengumpulkan pundi-pundi pribadi. Menjadi kepala daerah kini benar-benar dituntut bertitik tolak mengabdi melalui proses jujur tanpa jor-joran seperti layaknya pedagang.
Benar bahwa sanksi hukum atau sebut saja mendeteksi dan penindakan pelanggaran hukum peserta Pilkada masih belum maksimal sehingga “bermain-main” seperti masih ada ruang. Namun perlu diingat bahwa pelanggaran apapun seperti politik uang, kecurangan dan lainnya memerlukan cost tinggi. Itu artinya diperlukan modal besar sehingga lagi-lagi menjebak peserta Pilkada berpikir mengandalkan balik modal saat berkuasa.
Dengan resiko besar terpampang di depan mata, peserta Pilkada harus mengkaji ulang jika ingin jor-joran menghambur-hamburkan uang. Mentaati aturan merupakan jalan terbaik. Karena di sana para peserta Pilkada diarahkan tak perlu menghamburkan uang sehingga jika terpilih tak ada beban berusaha segala cara untuk balik modal. Tentu yang terpenting, tak perlu mengambil resiko berurusan hukum berkonsekuensi masuk hotel prodeo.
