SUMENEP, koranmadura.com – Akibat terdampak kekeringan, tanaman cabai di Desa/Kecamatan Saronggi kering. Akibatnya, petani tak bisa mendapat penghasilan sebagaimana biasa. Mereka berharap ke depan ada penampungan air.
Salah satu lahan milik petani cabai di desa tersebut tampak pohonnya sudah mengering. Sehingga, buahnya banyak berjatuhan. Sejak tak turun hujan selama beberapa waktu terakhir, tanaman cabai di sana tak disiram.
Penurut penuturan pemilik lahan, Haninah, dirinya sudah lama tak menyiram tanamannya itu. Karena di daerah itu jauh dari sumber air. Sehingga sulit untuk mendapatkannya. “Kalau bukan musim hujan, di daerah sini sulit mendapat air,” tuturnya, Sabtu (17 September 2016).
Agar tak mengalami kerugian yang cukup besar, Haninah tetap merawat tanaman cabai miliknya sebisanya. Dia tetap memetik buah cabai yang masih tersisa. Mengingat, harga cabai saat ini Rp 12 ribu per kilogram. Sehingga sayang jika dibiarkan begitu saja.
Haninah mengaku, biasanya kalau ada air, sekali tanam dirinya bisa panen sampai sepuluh kali. Namun, musim ini, dirinya hanya bisa panen empat kali. “Karena sudah banyak yang kering, tak disiram,” ujarnya lebih lanjut.
Dia berharap pemerintah setempat membangun tempat penampungan air atau dilakukan pengeboran. Agar petani ke depan tak selalu kesulitan mendapat air untuk pertaniannya.
Prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kalianget, puncak musim kemarau akan terjadi November mendatang. Pertengahan November diprediksi sudah masuk musim penghujan.
“Kalau prediksi BMKG, pada 10 hari kedua Bulan November atau antara tanggal 11 hingga 20 sudah masuk musim penghujan. Dan musim kemarau normal hanya berlangsung sekitar 3 bulan,” kata Observer BMKG Kalianget, Agus Arif Rahman, beberapa waktu lalu. FATHOL ALIF/MK
