SUMENEP, koranmadura.com – Bantuan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) tahun 2016 di Dinas Perkebunan dan Kehutanan (Dishutbun) Kabupaten Sumenep, dipastikan tidak akan terserap semua. Dari anggara Rp9 miliar hanya terserap 71 persen. Sisanya 22,9 persen atau setara Rp 2.061.000.000 tidak terserap.
“Tidak mungkin terserap semua, yang jelas 22,9 dari total anggaran harus dikembalikan ke Kasda (Kas Daerah),” kata Kepala Bidang Perkebunan Dishutbun Sumenep, Joko Suwarno, Selasa 8 November 2017.
Sesuai PMK Nomor 28 2016 tentang Penggunaan, Pemantauan, Dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau disebutkan sebesar 50 persen bersifat block grant dan disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Salah satunya peningkatan mutu tembakau, pembinaan lingkungan dan pengumpulan informasi cukai ilegal. Sementara di Dishutbun dialokasikan untuk bantuan permodalan sebesar Rp 5 miliar, pengadaan 13 mesin perajang sebesar Rp 89,3 miliar, bantuan sekolah lapang, bantuan pembangunan 10 embung air senilai Rp800 juta, dan sejumlah program lain.
Hanya saja dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 14/2016 tentang Pedoman Pemberian Hibah Dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari APBD, calon penerima harus mempunyai badan hukum minimal berusia tiga tahun. Sementara di Sumenep belum satupun Kelompok Tani yang mempunyai badan hukum tiga tahun.
Dengan begitu, semua bantuan hibah yang dibiayai DBHCHT terancam tidak bisa direalisasikam semua. Seperti pembangunan embung air yang hingga saat ini sudah tidak bisa dipaksakan untuk direalisasikan dan harus dikembalikan ke Kasda.
Tidak hanya itu, kata Joko, dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.07/2016 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, sudah bisa direalisasikan. Namun, tidak bisa direalisasikan dalam bentuk permodalan.
Awalnya, Bidang Perkebunan memprogramkan bantuam permodalan sebesar Rp5 miliar. Namun, setelah diterbitkannya PMK itu, bantuan tersebut tidak bisa direalisasikan. Sehingga terpaksa harus dialihkan ke bidang sarana dan pra sarana.
“Akhirnya anggaran itu dialihka ke pengadaan barang, seperti pengadaan tractor dan roda tiga,” jelasnya.
Namun dengan diterbitkannya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 25 Tahun 2016 tentang kelompok tani yang tidak harus berbadan hukum, apabila hendak mengajukan bantuan hibah cukup dengan surat keterangn terdaftar (SKT) dari SPKD terkait, yakni Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan (Disperta), atau dari Bupati dan atau SKT yang dikeluarkan oleh Sekretaris Daerah (Sekda).
Diterbitkannya Perda itu mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 14 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang pedoman pemberian dana hibah dan bansos yang bersumber dari APBD, dan Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Timur (Jatim), No 40 Tahun 2016 tanggal 14 Juli 2016 tentang bantuan Hibah dan Bantuan Sosial, kelompok masyarakat atau kelompok tani bisa mengajukan bantuan tanpa harus memiliki badan hukum.
Sementara Perda Nomor 25 Tahun 2016 baru bisa diterapkan sekitar Oktober, sementara siswa waktu tahun anggaram hanya dua bulan. Sehingga, menjadi salah satu faktor minimnya realisasi anggaran tersebut.
“Awalnya semua bantuan hibah terancam tidak bisa disalurkan, namun atas dasar itu bantuan hibah yang berbentuk sarana dan prasarana bisa direalisasikan,” jelasnya. (JUNAIDI/RAH)
