JAKARTA, koranmadura.com – Pemerintah Indonesia, Malaysia dan Filipina dinilai gagap dalam menghadapi kelompok Abu Sayyaf.
Penilaian tersebut terkait penculikan dan penyanderaan anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia di perairan perbatasan ketiga negara tersebut yang terus terjadi.
“Ini menunjukkan bahwa tiga negara sekaligus gagap dalam menghadapi kelompok Abu Sayyaf,” ujar peneliti Institute for Security and Strategic Studies Khairul Fahmi melalui pesan singkat, Senin (21/11/2016).
Fahmi yakin, berulangnya aksi penyanderaan itu bukan karena kuatnya kelompok Abu Sayyaf.
Menurut Fahmi, mereka hanya memanfaatkan kelemahan ‘bolongnya’ kekuatan Indonesia, Malaysia dan Filipina dalam hal pengamanan perairannya masing-masing.
Pengelolaan keamanan laut, baik domestik atau kawasan, masih menghadapi persoalan dan tantangan klasik.
Di sisi domestik, misalnya, pengelolaan keamanan laut belum menunjukkan pembenahan yang signifikan, khususnya setelah kasus penyanderaan WNI mulai ramai terjadi.
Pemerintah Indonesia memiliki Badan Keamanan Laut atau Bakamla. Namun, praktiknya lembaga ini masih ‘tumpul’.
“Selain karena payung hukum yang belum cukup kuat, ada juga keterbatasan sarana prasarana pendukung yang menyebabkan Bakamla bergantung pada TNI AL,” ujar Fahmi.
“Persoalan klasik lain dalam penegakkan keamanan laut adalah praktik kolusi dan korupsi, misalnya suap dan pungutan liar. Ini mengakibatkan terjadinya perlakukan tak setara dalam perlindungan kapal-kapal yang berlayar di perairan rawan,” lanjut dia.
Kurangnya disiplin personel di lapangan serta kepatuhan operator armada laut juga diyakini bentuk ‘bolongnya’ pengamanan laut.
Tingkat ‘awarness’ berkurang dan pada akhirnya kemampuan penegakkan keamanan menurun signifikan.
Sementara itu, pada level pengamanan kawasan, sinergitas tiga negara berkepentingan berbentuk patroli bersama juga dinilai baru sebatas gagasan.
“Di atas kertas, sinergi dalam bentuk pertukaran informasi dan patroli bersama serta penegakkan hukum yang kuat di masing-masing negara adalah solusi masuk akal. Tapi tanpa dibarengi upaya serius menghilangkan praktik buruk, hal itu menjadi sekadar bentuk tindakan reaktif belaka yang tidak berkelanjutan dan pada akhirnya tidak efektif,” ujar Fahmi.
Negara-negara itu, lanjut Fahmi, nampaknya tidak sepenuhnya sadar bahwa mengatasi gangguan keamanan laut tidak cukup hanya dengan melakukan tindakan reaktif atau sosialisasi jalur-jalur rawan.
Tanpa pembenahan internal yang komprehensif, diyakini tidak akan menemukan solusi.
“Hilangkan ego menghadapi musuh bersama. Kedaulatan dan kewibawaan diuji. Bukan hanya Indonesia, namun juga Malaysia dan Filipina, karena faktanya penculikan sering terjadi di perairan tetangga,” ujar Fahmi.
Catatan Kompas.com, hingga pertengahan November 2016 ini, masih ada 7 ABK WNI yang disandera.
Lima ABK telah dipastikan disandera kelompok Abu Sayyaf. Sementara, dua ABK lainnya belum diketahui siapa penculiknya.
Meski demikian, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah mengetahui lokasi 2 ABK WNI itu. Mereka terpantau berada di Kepulauan Sulu, Filipina Selatan.
Sumber: KOMPAS.com
