SUMENEP, koranmadura.com – Lahan Pasar Ternak Terpadu di Desa Pakandangan Sangra, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, dipermasalahkan Suhairi, ahli waris tanah yang dibangun pasar tersebut.
Suhairi mengaku tertipu. Pasalnya, tanah seluas 7.090 M2 atas nama Bapak Masura Ulla disinyalir telah dimanipulasi. Indikasinya, tanah dengan Persil Nomor 00026 Kohir 531 telah dipindah namakan kepada Sanawan Enno dengan Kohir 640 tanpa sepengetahuan Suhairi selaku cucu dari Pasuri Ulla warga Desa Pakandangan Sangra.
“Ini kan sudah tidak beres, kok seperti ini prosesnya. Tentunya kami selaku pemilik tanah yang dirugikan.” kata Suhairi, Rabu 9 November 2016.
Diceritakan, beberapa bulan lalu, dirinya mendapatkan undangan dari pemerintah daerah terkait rapat soal pembebasan lahan. Rapat tersebut diletakkan di Kantor Bupati. Sejumlah instansi hadir dalam rapat tersebut.
Namun, selang beberapa waktu rapat itu kemudian ditindaklanjuti di rumah Kepala Desa Pakandangan Sangara, Kecamatan Bluto, Iskandar. Saat itu dirinya dimintai untuk menamdatangi secarik kertas yang tidak diketahui maksud dan tujuan tersebut. Karena dirinya tidak mau terjebak, maka dirinya menolak untuk menandatangani kertas putih itu.
Tindakan tersebut bukan tanpa alasan, melainkan karena harga tanah yang ditawarkan oleh pemerintah daerah dinilai tidak sesuai dengan harga tanah pada umumnya, yakni hanya dihargai sekitar Rp 70 ribu per miternya.
Diyakini harga yang dipatok pemerintah sangat memberatkan pagi pemilik tanah, karena hasil dari penjualan tidak memungkinkan apabila dibelikan tanah seluas yang telah dibeli dengan cara tidak prosedur itu.
Kemudian beberapa waktu kemudian, Suhairi mendapat undangan kembali. Kali ini undangan tersebut bukan atas nama ahli waris. Sebab, tanah tersebut telah dipindahnamakan kepada Sanawan Enno dengan Kohir 640 dan luas sebidang tanah 810 M2.
“Ini yang membuat kami gerah, karena perpindahan itu tanpa persetujuan kami selaku ahli waris. Kok bisa ini dilakukan?,” tuturnya penuh tanda tanya.
Atas dasar itu, pada 11 Desember 2014 Suhairi meminta keadilan dengan cara berkirim surat kepada Bupati Sumenep, A Busyro Karim. Dalam surat tersebut dijelaskan, dirinya selaku ahli waris meminta agar proses pembangunan dihentikan karena tanah dengan persil 00026 seluas 7.090 M2 masih dalam sengketa.
Namun, upaya tersebut tidak mendapat respons posotif sehingga pembangunan tetap dilanjut sesuai kemauan pemerintah. Padahal, kata Suhairi, saat dirinya menghadiri sosialisasi yang melibatkan petugas dari Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur, petugas mengimbau jika pemilik lahan merasa keberatan, maka pembangunan proyek tersebut tidak bisa dilanjutkan.
“Ini sudah jelas pemerintah daerah tidak mematuhi apa yang telah dikatakan oleh Pemerintah Provinsi, apalagi kami sebagai rakyat kecil,” jelasnya.
Meskipun upayanya tak digubris oleh pemerintah daerah, Suhairi terus berupaya mencari keadilan, termasuk mengadu kepada wakil rakyat di Gedung DPRD Sumenep. Bahkan dirinya telah mempersoalkan kepada instansi terkait, yani Dinas Peternakan, namun upayanya kembali tidak menemukan solusi.
Instansi terkait mengklaim pembebasan lahan sudah selesai, itu berdasarkan terbitnya sertifikat lahan seluas 2,1 hektar itu. Lahan tersebut merupakan milik 9 warga setempat yang saat ini disatukan.
“Meskipun sudah ada sertifikatnya, kalau proses dari awal sudah tidak benar, itu patut dipertanyakan. Jika memang dibenarkan cara itu, kami pun juga bisa memakai cara seperti itu untuk menguasai tanah milik orang lain,” tegasnya.
Sementara Kepala Dinas Peternakan Sumenep, Arief Risydi mengatakan, itu merupakan persoalan lama, bahkan kasusnya telah selesai. “Jangan dihiraukan, itu persoalan lama,” jelasnya. (JUNAIDI/MK)
