SUMENEP, koranmadura.com – Hingga saat ini tari muang sangkal yang merupakan tarian khas Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, tetap dilestarikan. Namun, perkembangan zaman yang cukup pesat mengakibatkan tari muang sangkal alami pergeseran.
“Hanya oleh penata tari di Sumenep dikembangkan baik dalam pakaian,” kata budayawan Sumenep Edy Setiawan, Senin, 7 November 2016.
Secara harfiah tari muang sangkal berasal dari dua kata, yakni “muang” yang berarti membuang, dan “sangkal” yang berarti mara bahaya atau penolakan atau karma. Tari muang sangkal saat ini diperagakan oleh para penari wanita yang jumlahnya ganjil, bisa satu, tiga, lima, dan seterusnya. Tari muang sangkal merupakan tarian yang terbilang sakral, penari yang tampil harus dalam kondisi suci atau tidak menstruasi.
Biasanya busana yang dipakai tarian muang sangkal merupakan busana pengantin khas Sumenep, dengan perpaduan warna khas yaitu merah, kuning, dan hitam. Dalam pertunjukannya, diiringi musik gamelan khas keraton, seperti gendhing sampak, gendhing oramba’–orambe’, dan gendhing yang lain.
Menurut Edy, awalnya tarian tersebut merupakan tarian sakral yang dilakukan setiap pekan di keraton, yakni setiap malam Jum’at. Tarian tersebut berawal dari tari tabur beras kuning.
Pada masa kerajaan, setiap malam Jum’at mempunyai kebiasaan atau tradisi tari buang beras kuning. Itu dilakukan dengan tujuan untuk membuang hal yang bisa menimbulkan ketidaksenangan. “Namun karena dikembangkan, maka saat ini menjadi tari muang sangkal yang berarti tari buang sial,” jelasnya.
Tarian tersebut saat ini tetap diperagakan saat perayaan tertentu, misalnya penyambutan orang penting, seperti gubernur, menteri dan lain sebagainya saat berkunjung di Sumenep. (JUNAIDI/MK)
