SUMENEP, koranmadura.com – Minyak dan gas di Kabupaten Sumenep diprediksi akan habis pada tahun 2022. Selain itu, Sumenep juga terancam tidak akan jadi daerah penghasil migas.
Informasi tersebut didapat oleh koranmadura.com dari Kepala Bagian Sumber Daya Alam (SDA) Sekretariat Sumenep, Abd Kahir. Menurut Kahir sesuai laporan yang diterima pihaknya dari KEI, kandungan migas yang beroperasi di Pegerungan mulai defisit. Bahkan produksi migas KEI tahun 2018 diprediksi tidak mencapai target.
“Dari target 3.110,7.000 MM BT baru tercapai 39 persen. Bahkan hasil klarifikasi hanya tinggal gasnya saja dan mau habis,” kata Abd. Kahir.
Baca: Migas Menipis, Sumenep Tak Lagi Jadi Daerah Penghasil?
Menanggapi hal tersebut, Ketua Gerakan Pemuda Sumekar (GPS), Ahmad Zainullah mengatakan bahwa yang dibutuhkan masyarakat Sumenep adalah transparansi soal dana bagi hasil migas (DBH). Terutama masyarakat terdampak. Bukan informasi soal menipis atau defisit.
“Kita tak butuh informasi itu. Tetapi butuh tranparansi DBH. Masyarakat Sumenep tak ngurus soal mulai menipis atau akan habis tahun 2022, yang dibutuhkan adalah transparansi soal dana bagi hasil. Berapa yang didapat oleh Sumenep dari lifting ekploitasi KKKS yang ada?” tanya Zen, panggilan akrabnya Ahmad Zainullah, Senin, 27 Agustus 2018
Ia pun menceritakan perihal perjuangannya sejak dulu. Kata Zen, tak terhintung sudah berapa kali dirinya melakukan aksi untuk sekadar bertanya soal DBH yang didapat Sumenep sebagai daerah penghasil.
“Tidak ada yang terbuka. Semuanya bungkam. Baik Bupati maupun dinas terkait. Alih-alih dikembalikan ke SKK Migas dan menteri keuangan. Saya setuju pernyataan Bang Emil Dardak kemarin, DBH kita melimpah. Tetapi tidak tepat sasaran. Ada apa ini, siapa yang bermain, jangan-jangan mengalir ke mafia migas?” ucapnya dengan ekpresi heran.
Zen pun membeberkan soal Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pembagian Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (lembar negara republik Indoesia tahun 2005 nomor 37).
Menurut mantan Ketua FKMS itu, dalam UU itu sudah jelas besaran dana bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di sektor pertambangan minyak dan gas bumi. Untuk minyak bumi imbangan pembagiannya antara pusat dan daerah sebesar 84,5 persen banding 15,5 persen dengan rincian, 3 persen untuk Provinsi, 6 persen untuk untuk Kabupaten/Kota penghasil, dan 6 persen untuk pemerintah daerah.
Sementara, lanjut Zen DBH untuk pertambangan gas bumi sebesar 30 persen untuk daerah penghasil dengan dibagi antara provinsi dan daerah. Sebanyak 10 persen untuk dibagikan ke Provinsi sebagai daerah penghasil, sementara 20 persennya dibagikan untuk seluruh kabupaten dalam provinsi bersangkutan.
“Termasuk bagian untuk sektor pendidikan. Semuanya sudah jelas dalam UU tersebut. Namun, sampai hari ini kita belum menemukan angkanya berapa. ESDM Bungkam, keuangan juga sama. Lalu, kita harus bagaimana agar tahu soal angka itu. Apa kita harus menunggu migas habis dikeruk dulu baru kita tahu,” pungkasnya.
Dalam waktu dekat, GPS akan mendatangi ESDM dan bagian keuangan terkait dengan itu semua. “Akan kita sampaikan hasil investiasi kami terkait migas di Sumenep. Termasuk kami juga akan surati beberapa pihak, baik Menteri ESDM, SKK Migas maupun Kemenkeu. Ini bukan ancaman, tetapi bentuk keseriusan kami dalam mengawal migas untuk rakyat,” tegas mantan aktivis PMII ini.
Seperti diketahui saat ini terdapat tiga Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang telah eksploitasi, yakni Santos Pty Ltd yang beroperasi di Perairan Kecamatan Giligenting, Husky CNOOC Madura Limited (HCML) di Perairan Kecamatan/Pulau Raas, dan Kangean Energy Indonesia (KEI) yang beroperasi di perairan Pulau Pagerungan, Kecamatan/Pulau Sapeken. (SOE/DIK)