SUMENEP, koranmadura.com – Polemik penghapusan anggaran sebesar Rp2,2 Miliar di APBD Perubahan 2018 sepertinya mulai menemukan titik terang. Pencoretan itu diduga karena persoalan fee yang tidak diberikan pada salah satu anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Tudingan itu disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi II DPRD Sumenep Badrul Aini. Politisi asal kepulauan ini buka-bukaan soal fee. Dan Badrul menilai, kebijakan tersebut masuk tindakan pembodohan.
“Penghapusan anggaran oleh Timgar (Tim Anggarab) adalah keputusan sinting dan bodoh,” kata Badrul sebagaimana rilis yang diterima koranmadura.com.
Anggaran yang dicoret itu diproyeksikan untuk tiga jenis kegiatan, diantaranya pengadaan mesin penggilingan padi dengan anggaran sekitar Rp500 juta; pembangunan lumbung pangan sekitar Rp500 juta; dan pengadaan perahu sebanyak 8 unit dengan mesin tempel yang diperkirakan menghabiskan sekitar Rp1,2 miliar. Salah satu alasan penghapusan anggaran OPD mitra kerja Komisi II itu karena tidak dibahas di Komisi.
Namun alasan itu kata Badrul sangat tidak rasional. Bahkan dirinya menuding penghapusan dilakukan melalui fakta yang tidak benar yang disampaikan oleh dua Anggota Badan Anggaran (Banggar). Keduanya merupakan anggota Komisi II DPRD Sumenep.
“Itu diawali oleh kebohongan dua anggota banggar (Masdawi dan Akis Jazuli) yang mengatakan anggaran tidak dibahas di Komisi II,” jelasnya.
Padahal kata Badrul anggaran yang dihapus sudah dibahas di internal Komisi II, namun dua Anggota Banggar dari Komisi II menyampaikan pendapat jika program tidak pernah dibahas di Komisi.
Menurut Badrul anggaran sebesar Rp1,2 miliar untuk pengadaan perahu di Dinas Perikanan sempat dibongkar saat pembahasan di Komisi II beberapa waktu lalu.
“Pada saat pembahasan di Komisi II diminta dibongkar, karena titik lokasinya dan proyek pengadaannya diminta oleh Akis Jazuli dan Masdawi 50%. Karena tidak ada setoran uangnya sampai rapat Timgar dilaksanakan, maka disampaikanlah di rapat Timgar-Banggar bahwa anggaran tersebut tidak dibahas di Komisi II dan dicoret di Timgar-Banggar,” ungkapnya.
Demikian pula kata Badrul pengadaan lumbung pangan senilai Rp500 juta yang bakal diletakan di Pulau Kangean sudah pernah dibahas di Komisi pada tahun 2017. Sebab, anggaran tersebut telah dianggarkan pada APBD murni 2018.
Bahkan saat pembahasan lumbung pangan, kata Badrul bertindak sebagai pimpinan rapat. Dirinya mencurigai jika ada Anggota Komisi II yang mengatakan tidak dibahas, patut dicurigai saat pembahasan hanya disibukan dengan kegiatan lain, semisal main handphone sehingga tidak memahami RKA secara detil.
“Lalu bilang (Masdawi dan Akis) tudak dibahas di Komisi, ini kami yakin karena kebodohan cara membaca RKA saja, lalu dihapus juga oleh Hanafi dkk, padahal sudah ada penjelasan kongkrit dari Dinas dan Bappeda, hanya karena penempatan lokasi tidak di dekat rumahnya sendiri,” ungkapnya.
Mestinya kata Badrul pimpinan rapat Banggar-Timgar tidak serta merta mengambil kebijakan. Sehingga keputusan yang dihasilkan tidak menuai konflik yang berkepanjangan.
“Seharusnya pimpinan sidang tidak bodoh membuat keputusan, kalau ada persoalan terkait penganggaran di Komisi yang dianggap bermasalah, jangan hanya percaya pada oknum Banggar yang merasa mewakili komisi. Padahal sudah ada niat lain dari awal ingin mencoret karena tak dapat titik lokasi dan uang proyek dari dinas,” tegasnya.
Sementara itu Akis Jazuli membantah semua tudingan yang dilayangkan oleh Wakil Pimpinannya di Komisi II itu. Menurutnya, pencoretan murni berdasarkan hasil keputusan Banggar dan Timgar.
“Tidak benar, karena penghapusan merupakan otoritas kebijakan Timgar dan Banggar. Termasuk fee 50 persen itu tidak benar. Karena keputusan itu bukan hanya disetujui oleh person,” jelasnya.
Bahkan kata Akis, salah satu alasan dihapusnya anggaran tersebut karena instansi yang akan menjadi pengguna anggaran tidak mau merealisasikan. Dan anggaran itu jauh dari konsep keadilan anggaran, sebab anggaran itu hanya dianggap bertumpu di salah satu kepulauan.
“Itu OPD (organisasi perangkat daerah) yang tidak mau melaksanakan. Sehingga anggaran itu harus dikembalikan ke Kasda,” tegasnya.
Dikonfirmasi terpisah, H Masdawi juga membantah tudingan tersebut. Menurutnya selama menjadi wakil rakyat di Gedung Parlmen dirinya tidak pernah meminta fee apapun. “Itu tidak benar. Lihat saja apakah saja wajah seperti (pemain) atau gimana. Saya tidak pernah main-main dalam pembahasan APBD. Karena APBD ini murni demi kepentingan masyarakat,” tegasnya.
Sementara untuk pembahasan RKA di Komisi, kata Politisi Partai Demokrat itu memang tidak ada pembahasan. Bahkan dirinya mengaku tidak pernah menerima RKA yang mestinya diberikan oleh OPD mitra kerja Komisi II.
“Saya sempat tanya kepada pendamping komisi, mana RKA, katanya (pemdamping) tidak ada. Setelah kami telusuri ada kesan jika OPD dikondisikan agar tidak menyerahkan RKA. Nah, kalau seperti itu kita mau jadi apa, apakah saya dianggap Anggota Dewan abal-abal, padahal semua keputusan komisi, itu merupakan keputusan kolektif kolegial,” jelasnya.
Tidak hanya itu kata Masdawi jika program tersebut dipaksakan untuk direalisasikan, dirinya khawatir akan bermasalah hingga ke ranah hukum. Sebab, terdapat program yang dianggap spesifikasinya tidak sesuai aturan.
“Sehingga OPD nya menolak. Karena anggarannya besar tapi speknya kecil. Jadi, yang menolak itu bukan saya, melainkan keputusan Timgar dan Banggar. Kalau tidak puas silahkan mengadu ke Timgar dan Banggar,” tandasnya. (JUNAIDI/SOE/DIK)