Oleh : Miqdad Husein
Presiden Jokowi akhirnya berbicara terkait sikap sebagian masyarakat Indonesia yang kurang menghargai pemerintah Indonesia. Sementara di luar negeri apresiasi kepada pemerintah sangat luar biasa, yang antara lain terlihat dari sikap pemimpin dunia saat acara pertemuan KTT G20 di Roma, beberapa waktu lalu.
Dalam pidatonya, pada acara di Partai Nasdem Jokowi mengatakan, merasa heran bahwa pemerintah sering dikerdilkan di negaranya sendiri padahal dipandang baik di mata dunia.
Jokowi lebih jauh mengatakan, posisi Indonesia saat ini begitu strategis di mata dunia internasional. Namun sayangnya, menurut Jokowi, seringkali hal itu tidak direspon baik oleh bangsanya sendiri.
Dalam kesempatan di depan pengurus Nasdem itu, Jokowi menegaskan sudah banyak negara maju yang kini melirik Indonesia. Banyak pemimpin dunia yang ingin bertemu dengannya untuk membahas hal bilateral.
Ironi yang diungkap Presiden Jokowi ini baru sebagian; masih sebatas soal sikap menganggap remeh. Yang lebih parah lagi, masih mudah ditemukan dalam bentuk berbagai ujaran kebencian, penghinaan dan pelecehan. Belum lagi yang mengarah pada pribadinya.
Tanggapan Rizal Ramli misalnya, memperlihatkan sikap jauh dari kepantasan serta sangat tidak rasional. Apa iya pujian pemimpin dunia kepada pemerintah pimpinan Presiden Jokowi karena mereka tidak mengetahui realitas obyektif kondisi riil roda pemerintahan Indonesia.
Adalah sangat tidak rasional di era informasi dan komunikasi seperti sekarang ini, ada hal-hal yang dapat disembunyikan apalagi dimanipulasi. Apresiasi dari pemimpin dunia kepada pemerintah sudah pasti atas dasar fakta obyektif. Bisa jadi justru Rizal Ramli, yang kehilangan obyektifitas seperti sebagian pemikiran dan perilaku masyarakat negeri ini. Agaknya suasana kejiwaan kekecewaan akibat diberhentikan sebagai menteri masih berbekas kuat sehingga menutup akal sehat Rizal Ramli.
Bisa dibayangkan jika sekaliber Rizal Ramli masih terperangkap pikiran penuh kebencian apalagi masyarakat awam, yang menjadi korban politik identitas saat Pilpres 2019 lalu.
Provokasi sinisme dan lontaran pernyataan jauh dari rasional yang masih terus dilontarkan oleh orang-orang seperti Fadly Zon, makin mengentalkan suasana kebatinan penuh emosional sebagian rakyat. Seorang Prabowo agaknya kehilangan kesabaran juga hingga merasa perlu menegur Fadly Zon.
Tak diragukan lagi, kebencian produk politik identitas masih mudah ditemukan di media sosial. Kata-kata kasar, ujaran kebencian, bahkan hinaan jauh dari kepantasan masih bertebaran. Yang menyedihkan sering lontaran pernyataan jauh dari berkeadaban keluar dari mereka yang berbaju dan bercitra keagamaan. Sampai-sampai pegiat media sosial Muhammad Yusuf menyebut telah terhinggapi penyakit jiwa, mereka yang lontaran pernyataannya sudah sangat keterlaluan.
Jelas yang terpapar bukan lagi sensasi apalagi essensi kritik pada kinerja pemerintah. Yang mengemuka seperti disebut Muhammad Yusuf, sudah keluar dari akal sehat manusia normal.
Pemerintah pimpinan Presiden Jokowi sangat dipahami belum sempurna. Masih ada kekurangan di sana sini. Pengawasan, kritik pedas, koreksi masih sangat diperlukan. Semangat seperti itulah yang perlu dikembangkan, bukan lontaran sensasi murahan apalagi ujaran kebencian, hinaan dan hoax.
Sisa-sisa Pilkada Jakarta, Pilpres yang membuat masyarakat terbelah akibat permainan politik identitas, agaknya masih perlu terus dibersihkan agar berbagai hal buruk yang tak mencerminkan jati diri bangsa ini segera terkikis habis. Negeri ini tak boleh terus hanyut dalam atmosfer kebencian yang dapat menjadi benih-benih konflik, yang dapat memporak-porandakan kedamaian, kebersamaan dan persaudaraan.
