Kesabaran ada batasnya. Kalimat itu bisa jadi menggambarkan realita sesungguhnya ketika sekitar 300 purnawirawan TNI menyampaikan pemikiran usulan kepada MPR agar mengganti Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Usulan -yang tergolong sangat mengejutkan ini, jelas bukan datang dari sekelompok orang yang kaleng-kaleng. Mereka antara lain, mantan Wakil Presiden Jenderal Purn TNI Try Sutrisno, mantan Menteri Agama Fachrul Razi, KSAD periode 1999-2000 Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, KSAL periode 2005-2007 Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, KSAU periode 1998-2002 Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan. Sebuah paket komplit berkualitas yang sangat jelas.
Latar belakang sebagai TNI -pengawal Indonesia- makin menegaskan bahwa ada kekhawatiran sangat serius sehingga mereka yang sebenarnya sudah memasuki masa-masa menimang cucu, rileks menikmati sisa-sisa usia, terpaksa kembali ke gelanggang. Pak Try misalnya, yang dari segi usia tergolong sangat uzur akan terlalu naif jika dituding berangkat dari syahwat kekuasaan.
Saya masih ingat, pada tahun 2004 sempat bertemu beliau. Di sela perbicangan keperluan saya pribadi, beliau sempat menceritakan kondisi kesehatannya, yang memerlukan kehati-hatian dalam gaya hidup. Beliau mengaku menjaga pola makan, olahraga cukup serta menghindari kesibukan pemikiran yang berlebihan. Demi kesehatan.
Itu terjadi sekitar 21 tahun lalu, yang tentu saja kondisi beliau sekarang ini, sudah jauh berbeda. Jadi, sangat jelas bahwa ketika beliau turun gunung -dalam kondisi usia serta kesehatan sejalan usia yang sekitar 89 tahun- memang karena melihat kondisi kepemimpinan negeri ini yang carut marut. Jelas, jauh dari niatan kepentingan kekuasaan. Benar-benar demi kepentingan negeri ini.
Para jenderal lainnya pun, dari segi usia, tidak tergolong muda dan selama ini, praktis tidak menjadi bagian dari hiruk pikuk politik kekuasaan. Lagi-lagi menggambarkan niatan para purnawirawan, benar-benar demi kepentingan negeri ini.
Mengapa usulan mengarah langsung pergantian Wakil Presiden Gibran Rakabuming? Rasanya, tak perlu lagi penjelasan rinci. Wakil Presiden Gibran adalah produk pelanggaran etika, melalui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kala itu dipimpin pamannya Anwar Usman. Sebuah perselingkuhan memalukan, yang merusak fondasi hukum negeri ini.
Rentetan Keputusan MK Nomor 90, yang merobah persyaratan usia yang terbukti secara proses normatif melanggar etika, layaknya virus terus merembes merusak tatanan lainnya. Ketua KPU sampai lima kali melanggar etika, proses Pemilu dikotori praktek Bansos yang jauh dari proporsional, Mahkamah Agungpun sempat mengeluarkan keputusan kontroversial terkait PKPU demi jalan mulus Kaesang, putra Joko Widodo.
Kerusakan dan kerusakan terus berlanjut. DPR pun sempat tergoda terseret kepentingan politik keluarga ketika akan merobah UU Pilkada, untuk memberi jalan Kaesang, putra bungsu Jokowi untuk maju Pilkada di Jawa Tengah. Beruntung MK dan demo besar-besaran masyarakat Indonesia, meluruskan kembali bangunan hukum yang terkoyak akibat keserakahan politik sebuah keluarga.
Lalu, mengapa para purnawirawan baru bersuara belakangan? Sebenarnya, jauh sebelumnya mereka sudah meneriakkan berbagai pemikiran dan koreksi pada berbagai praktek politik yang mengabaikan konstitusi, UU dan etika. Namun, rakyat negeri ini mengetahui demikian massif praktek politik kotor itu hingga sulit dibendung.
Kemungkinan kedua, mereka, para purnawirawan, berpikir arif demi kepentingan keutuhan negeri ini. Jika berbagai usulan disampaikan ketika suasana politik panas, ketika berlangsung konstestasi Pilpres dan Pilkada, dampaknya akan sangat menghawatirkan. Syahwat berkuasa yang demikian dasyat saat itu, akan memunculkan perlawanan luar biasa, yang dapat mengoyak persatuan dan kesatuan negeri ini.
Kini, ketika masyarakat mulai relatif tenang dan dapat berpikir jernih serta melihat realitas riil kapasitas seorang Gibran, yang dipaksakan, para purnawirawan mengajak masyarakat berpikir rasional. Bukan usulan yang melabrak konstitusi. Para Purnawiran tetap menyampaikan melalui mekanisme normatif ke lembaga MPR. Tidak melalui politik jalanan, melainkan politik tingkat tinggi, yang mengajak seluruh komponen bangsa berpikir jernih dan bertindak sesuai konstitusi.
Lagi, menggambarkan betapa para purnawirawan berpikir demi kepentingan seluruh bangsa dan bukan syahwat politik pribadi. Kepentingan keutuhan dan kebaikan bangsa di atas segalanya. Karena itu usulan dan pemikiran ditempuh melalui jalur konstitusional.
Ada semangat untuk mengoreksi, meluruskan dan mengembalikan seluruh proses politik yang melenceng karena perselingkuhan di MK agar kembali jalur konstitusi serta politik beretika dan berbudi pekerti, yang bersih dari penghianatan.
Persoalannya, apakah MPR sekarang memiliki keberanian moral untuk meluruskan proses politik, yang dikotori keputusan MK, yang melanggar etika demi sang putra mahkota Gibran Rakabuming Raka. Jika MPR tutup mata, kepemimpinan Presiden Prabowo akan terus terbebani dan terganggu produk pelanggaran etika, yang melekat pada diri Gibran.
Jika Gibran terus menempel, menjadi bagian perjalanan negeri ini, disamping mengotori dan merusak praktek politik, juga dapat mengganggu langkah kepemimpinan Presiden Prabowo, sehingga tidak dapat berjalan optimal. MPR perlu berani mengamputasi virus politik yang terbukti merusak konstitusi, etika dan budi pekerti berpolitik di negeri ini.