PAMEKASAN, koranmadura.com – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Ansari menegaskan bahwa eksploitasi seksual terhadap anak merupakan pelanggaran serius yang harus ditangani dengan tegas dan melibatkan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat demi menyelamatkan masa depan generasi bangsa.
Menurut Ansari, kasus eksploitasi anak telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan hukum pidana di Indonesia. Berdasarkan data SIMFONI-PPPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) per 1 Januari 2025, tercatat 24.751 kasus kekerasan seksual terhadap anak, dengan rincian 5.219 korban laki-laki dan 21.198 korban perempuan.
“Tingginya angka tersebut sangat memprihatinkan dan menjadi perhatian kami di Komisi VIII DPR RI. Aparat penegak hukum harus bertindak tegas dalam menangani setiap kasus eksploitasi seksual terhadap anak,” tegas Ansari, Senin, 13 Oktober 2025.
Politisi perempuan asal Daerah Pemilihan XI Madura, Jawa Timur, ini menyoroti kasus memilukan yang menimpa seorang siswa SD berusia 13 tahun di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Kasus tersebut melibatkan keluarga korban sendiri, yang tega melakukan tindakan bejat terhadap anak kandungnya.
“Kami mendesak agar pihak kepolisian segera menuntaskan kasus ini, menangkap para pelaku, dan menjatuhkan hukuman berat sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Para pelaku yang seharusnya melindungi justru menjadi predator bagi anaknya sendiri,” ujarnya dengan nada tegas.
Ansari juga menegaskan komitmennya untuk mengawal kasus tersebut hingga tuntas, serta mengajak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ikut turun tangan memberikan pendampingan dan rehabilitasi bagi korban.
“Tentu peristiwa ini sangat memilukan dan sangat miris, bagaimana mungkin keluarga dekat tega melakukan eksploitasi dan persetubuhan terhadap anaknya sendiri. Ibu korban bahkan tega menjajakan anaknya sendiri. Kami (Komisi VIII DPR RI) akan mengawal kasus ini, mari bersama kita kawal kasus ini hingga tuntas. KPAI juga harus mengambil langkah yang diperlukan termasuk rehabilitasi terhadap korban anak,” tegasnya.
Lebih lanjut, Ansari menyebut sejumlah faktor yang sering menjadi pemicu terjadinya kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak, antara lain kemiskinan, lemahnya pengawasan orang tua, pengaruh media sosial, sistem dan norma sosial yang longgar, serta minimnya efek jera bagi pelaku.
“Korban eksploitasi seksual mengalami kerusakan fisik, mental, dan sosial. Mereka rentan mengalami depresi, trauma, gangguan kesehatan, bahkan bunuh diri,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya upaya pencegahan dan penanganan yang komprehensif, meliputi edukasi, deteksi dini, pendampingan korban, kerja sama antar lembaga, serta penegakan hukum yang tidak pandang bulu.
Dari hasil penyelidikan aparat kepolisian, Polres Banggai Kepulauan (Bangkep) menetapkan delapan tersangka dalam kasus eksploitasi seksual tersebut, termasuk ayah, ibu, dan kakak kandung korban. Ironisnya, sang ibu bahkan menjual anaknya kepada pria hidung belang dengan tarif Rp20 ribu hingga Rp50 ribu.
Para tersangka meliputi ayah korban (SY), ibu (AT), kakak (IY), pacar korban (DT), serta empat pria lain berinisial YS, EK, A, dan NS. Dua di antaranya masih di bawah umur dan menjalani proses hukum sesuai mekanisme peradilan anak.
Kasus serupa juga terjadi di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), di mana seorang guru berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) berinisial AB tega memperkosa siswanya sejak korban duduk di kelas IV SD. Pelaku mengiming-imingi korban uang Rp15 ribu untuk melancarkan aksinya.
Kasus itu baru terungkap setelah korban duduk di bangku SMP dan menceritakan kejadian traumatisnya kepada gurunya. Hasil visum dan pemeriksaan psikologis menguatkan bukti hingga pelaku ditetapkan sebagai tersangka.
“Oleh karena itu, kami mendesak semua kasus serupa ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku agar menimbulkan efek jera bagi pelaku,” pungkasnya. (SUDUR/DIK)











