Harapan sepakbola Indonesia ikut serta dalam ajang bergengsi Piala Dunia pupus sudah. Kekalahan 1:0 dari Irak setelah sebelumnya dari Arab Saudi 2:3, menempatkan Indonesia pada posisi juru kunci hingga menutup peluang tampil di Piala Dunia.
Berbagai upaya agar lolos Piala Dunia sebenarnya sudah dilakukan. Ya, ganti pelatih dan yang demikian menimbulkan tanda tanya melalui naturalisasi pemain. Tetapi, tetap saja gagal meraih mimpi besar tampil pada Piala Dunia 2026.
Apa yang salah? Dari sejak puluhan tahun lalu, sudah banyak kajian tentang proses pembinaan para pemain sepakbola, yang praktis kurang optimal. Alih-alih berusaha membenahi pembinaan eh, malah menggunakan jalan pintas dengan itu tadi- naturalisasi.
Naturalisasi ini, sebenarnya sah saja. Namun, naturalisasi pemain sepakbola negeri ini agak ‘keterlaluan’ dari segi jumlah. Tidak aneh bila kemudian merebak sindiran bahwa sepakbola Indonesia made in Belanda, karena banyaknya pemain dari warga asing. Ketika Tim Sepakbola Indonesia bermain kadang hanya menyisakan satu dua pemain lokal.
Demikian krisiskah bibit-bibit pemain Indonesia sehingga Tim Sepakbola Nasional sebagian besar diisi pemain produk naturalisasi? Jelas, tidak. Inferioritas, pemikiran pesimis hanya melingkari mereka yang ingin menggunakan jalan instan; mengabaikan proses pembinaan berjenjang serta pengelolaan integral persepakbolaan secara profesional.
Jika ada pembinaan serius, bukan mimpi kosong, untuk mencari pemain-pemain berbakat dari 270 juta lebih penduduk negeri ini. Bukti paling kongkrit ketika Tim masih seluruhnya atau mayoritas diisi pemain produk asli negeri ini, dilatih Shin Tae-yong. Cukup menggembirakan dan menjanjikan sekalipun mungkin belum optimal karena masih merupakan produk pembinaan seadanya.
Banyak kalangan yang meyakini, racikan Shin Tae-yong, yang menggunakan mayoritas pemain asli Indonesia, menjadi bukti bahwa bakat-bakat sepakbola lokal, sebenarnya sangat menjanjikan. Namun potensi besar itu, tersendat bahkan gagal bagai buah jatuh sebelum matang karena pengelolaan amburadul.
Terlalu kompleks untuk mengurai persoalan sepakbola negeri ini. Pembinaan yang setengah hati, kompetisi yang belum sepenuhnya menjanjikan, mafia bola yang sangat kasar, menjadi tantangan besar sangat serius, yang belum terpecahkan. Ironisnya, jalan yang ditempuh untuk menggapai prestasi dunia, dilakukan melalui jalan instan naturalisasi.
Shin Tae-yong sebenarnya sempat membuka lanskap pemikiran para penikmat bola di negeri ini. Pelatih Korea itu seakan memaparkan peta masalah bahwa potensi dan kemampuan pemain lokal sebenarnya, bisa dipacu untuk bisa berbicara dikancah dunia. Dan, Shin Tae-yong sangat cerdik memperbaiki kelemahan pemain Indonesia pada bagian yang selama ini, kurang mendapat perhatian: stamina. Ya, kelemahan pemain Indonesia, saat di lapangan terkendala terutama stamina. Kemampuan dalam teknik bermain lebih dari sekedar memadai, hanya membutuhkan pelatih hebat, taktik dan tentu saja sikap profesional pemain serta pengelola sepakbola.
Jika apa yang dipaparkan Shin Tae-yong memperbaiki stamina mendapat perhatian serius lalu dijadikan bagian penting proses pembinaan jangka panjang, diyakini sepakbola Indonesia dapat berbicara di pentas dunia.
Tentu yang tak kalah penting disiplin pemain bersikap profesional, didukung wasit bermoral ketika kompetisi lokal berlangsung, serta kesungguhan pengelola klub.
Sebenarnya di era digital seperti sekarang ini, gampang sekali melihat contoh klub-klub dunia mengelola sepakbola, membina pemain yang nantinya menjadi bagian penting tim nasional. Real Madrid, Barcelona, Arsenal, MU, City, dan klub profesional lainnya sangat jelas terlihat memiliki pembinaan pemain dari sejak dini yang ditangani secara profesional. Pengelolaan sepakbola menjadi layaknya industri. Tidak sekedar sambilan. ereka menyadari bahwa pemain hebat disamping ditentukan oleh bakat, juga melalui proses pembinaan panjang. Tidak instan.
Sejujurnya, diyakini, sangat banyak bibit-bibit hebat anak negeri ini. Sayangnya, mereka kurang mendapat perhatian dan para pengelola sepakbola lebih memilih jalan instan. Benar, yang dikatakan komedian Abdur. Banyak pemain berbakat tapi mereka tidak memiliki mimpi besar menjadi pemain seperti Zidan, Messy, Ronaldo, Salah, karena ketersendatan pembinaan.
Bisakah kegagalan kali ini, yang menempuh jalan instan, mampu membuka lanskap pemikiran para pengelola sepakbola nasional bahwa tim sepakbola terbaik tidak dapat dihasilkan semudah membalik tangan atau memakai cara tukang sulap sim salabim. Perlu waktu panjang, ketekunan, kesabaran, dan kerja profesionalisme seluruh jajaran terkait sepakbola. Begitulah.











