Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam beberapa pekan belakangan ini, sejak dilantik, benar-benar menjadi penghias utama pemberitaan. Tiada hari tanpa berita aktivitas Purbaya, sampai pada hal-hal kecil seperti ketika menikmati makan siang di Warung Kaki Lima. Purbaya benar-benar menjadi media darling.
Media sosialpun gemuruh memberikan sambutan luar biasa. Sosok yang bergaya ‘koboy’ ini dianggap memberikan kesegaran dalam gestur yang berbeda dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang dianggap normatif. Purbaya lebih familiar dan bergaya sangat santai.
Berbagai kebijakan yang terlihat populis seperti penundaan kenaikan bea cukai rokok, sikap tegas pada pemerintah daerah yang lebih suka menyimpan uang di bank dibanding ‘segera’ dibelanjakan, pengucuran dana SAL di Bank Indonesia ke bank Himbara agar mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan berbagai sikap tegas lainnya, membangkitkan simpati masyarakat.
Pengungkapan beberapa kasus korupsi, termasuk berbagai praktek pengelolaan BBM di Pertamina, kasus kelapa sawit, makin membuat sebagian masyarakat demikian sumringah. Penolakan menggunakan dana APBN untuk membayar utang kereta cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) makin menaikkan pamor sosok kelahiran Bogor, Jawa Barat itu. Kesan ‘melawan’ Luhut Binsar Panjaitan yang selama ini retorikanya dianggap jauh dari populer, makin menaikkan dukungan dan simpati kepada Purbaya.
Masyarakat luas seperti mendapatkan idola baru yang memposisikan Purbaya sebagai ‘pahlawan’ pembela rakyat. Tak aneh ketika pergi ke manapun, Purbaya mendapat sambutan luar biasa. Bahkan, mobilnya, ketika diketahui masyarakat terjebak kemacetan, dibantu diberi jalan. Luar biasa.
Namun, ada pula yang bersikap ‘dingin’ terhadap gaya dan termasuk pula pada berbagai kebijakan Purbaya. Soal kritik kebijakan umumnya datang dari kalangan ekonom. Penulis samaran Tere Leye, dari sisi lain mewanti-wanti agar masyarakat tidak mengulang pengalaman pahit 10 tahun, yang demikian mengidolakan Jokowi.
Yang agak sarkastis, mengingatkan tentang jejak ‘gorong-gorong’ yang sangat viral itu. Sebuah fragmen ketika Jokowi, saat masih menjadi Gubernur Jakarta, masuk gorong-gorong memeriksa penyebab kebanjiran Jakarta.
‘Gorong-gorong’ memang dianggap sebagai titik awal Jokowi menjadi sosok yang demikian diidolakan. Para intelektual, budayawan sekelas Goenawan Mohammadpun, apalagi masyarakat awan terpesona. Anak rakyat, yang bukan siapa-siapa tampil sebagai Presiden apalagi melawan dan mengalahkan Prabowo, dalam dua kali Pilpres. Sangat luar biasa persepsi indah masyarakat.
Namun, sosok yang demikian diidolakan dan dibanggakan, justru suul khotimah, meninggalkan jejak akhir sangat buruk. Jokowi daya rusaknya luar biasa. Yang dirusak bahkan merupakan fondasi negeri ini: MK, MA, KPU bahkan hampir saja DPRpun dirusak demi sang anak. Beruntung ada demo besar-besaran sehingga DPR gagal menjadi alat ‘perusak’ Jokowi.
Jejak buram yang dimulai dari fragmen gorong-gorong itu, diharapkan dijadikan alamr untuk mengingatkan masyarakat agar tidak berlebihan menyikapi berbagai retorika Purbaya. Benar beberapa lontaran pernyataannya -semoga terwujud kongkrit- seperti menyuarakan kepentingan masyarakat luas. Sesuatu yang seakan di masa menteri Keuangan sebelumnya, dianggap kurang diperhatikan.
Namun, masyarakat yang berpikir jernih, mungkin belajar dari pengalaman 10 tahun, mengingatkan untuk bersikap obyektif dan tidak emosional. Tidak larut dalam gaya familiar Purbaya. Beri kesempatan kepada Purbaya, kawal berbagai pernyataan dan rencana kebijakannya, agar benar-benar terlaksana sehingga memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Seperti kata hadist Nabi Muhammad, segala sesuatu jangan berlebihan. Jangan berlebihan mencintai dan jangan pula berlebihan membenci. Bersikaplah obyektif dan rasional. Apalagi ekonomi soal angka-angka bukan retorika, pencitraan dan sejenisnya. Semoga saja, apa yang terjadi belakangan bukan politisasi dan benar-benar merupakan niat baik untuk memperbaiki negeri ini, yang dalam dua tahun belakangan dirusak rezim Jokowi.











