PAMEKASAN – Dugaan penyerobotan lahan garam seluas 6 hektar milik H.Syafii, warga Dusun Laok Tambak, Desa Padelegen, Kecamatan Pademawu, Pamekasan, diduga melibatkan Perusahaan Hutan Negara Indonesia (Perhutani)
Dugaan ini diperkuat dengan pernyataan Raji alias Pak Sipah, yang mengaku menggarap lahan setelah mendapat izin dari perhutani. Ia menolak disebut menyerobot lahan yang terletak di Dusun Dusun Trokem, Desa Majungan, Kecamatan Pademawu, Pamekasan, karena lahan itu dalam penilaiannya bukan milik perorangan melainkan milik Perhutani.
Dalam kesepakatan hak garap lahan itu, penggarap akan menyetor sebanyak 30 persen dari hasil pengelolaan lahan.
Kerjasama pengelolaan lahan di lokasi itu bukan perorangan, tetapi melalui kelompok masyarakat (pokmas) yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) ”Sumber Barokah”. Total luas lahan yang dikelola kelompok ini seluas 190,2 hektar milik perhutani.
“Saya berani mengelola lahan ini karena merupakan hak milik Perhutani dan kami sudah mendapat izin garap melalui notaris,” kata Pak Sipah.
Tudingan penyerobotan lahan garam itu sebenarnya sudah diproses melalui jalur hukum. Pengadilan Negeri (PN) Pamekasan memutus bersalah terhadap Raji alias Pak Sipah karena terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan penyerobotan lahan dengan hukuman percobaan selama enam bulan. Hal ini sesuai putusan PN Pamekasan nomor 10/Pid.R/2013/PN.PSk yang dibacakan pada Selasa, 1 Oktober 2013 lalu.
Meski sudah divonis bersalah, namun Raji masih menggarap lahan itu, karena putusan PN Pamekasan itu dinilai liar dan berat sebelah. Ia mengaku berani mengerjakan lahan garam itu, karena telah bekerjasama dengan Perhutani sejak 2010 lalu.
Menanggai hal itu, Administratur Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH), Perhutani, Pamekasan, Madura, Murgunadi mengatakan, lahan sekitar 6 hektar itu masih bertatus sengketa antara H. Syafii pemilik sertifikat lahan dengan Perhutani. Sengketa itu sudah berlangsung selama beberapa tahun dan belum ada putusan tetap.
Murgunadi mengakui menjalin kerjasama dengan masyarakat setempat. Hanya saja, sudah ada kesepakatan bahwa lahan yang masih berstatus sengketa itu tidak boleh digarap sebelum ada putusan pengadilan. Jika warga, lanjut dia, melakukan penggarapan, maka hal itu di luar tanggungjawabnya.
“Pada dasarnya MDH adalah mitra Perhutani, sehingga yang dimaksud izin oleh masyarakat itu secara umum, sedangkan untuk lokasi yang bermasalah, sudah ada kesepakatannya sejak tahun 2003, tidak boleh dikerjakan. Jadi dalam hal ini, penggarapan yang dipermasalahkan dalam kasus itu, adalah di luar sepengetahuan Perhutani, sebelumnya,” katanya.
Sementara itu, H. Syafii, warga yang mengklaim sebagai pemilik lahan meminta agar tanah itu dikembalikan karena lahan itu bukan milik Perhutani. Ia menegaku memiliki bukti kepemilikan lahan berupa sertifikat sehingga tidak ada alasan bagi siapapun untuk mengklaim lahan tersebut.
”Putusan pengadilan sudah memvonis penyerobot lahan bersalah. Bahkan yang bersangkutan telah dipidan dengan pidana kurungan selama dua bulan dengan masa percobaan enam bulan,” katanya. (uzi/muj/rah)