PAMEKASAN – Perubahan pola distribusi raskin dari Kepala Desa (Kades) ke Kelompok Masyarakat (Pokmas) yang sejak lama diwacanakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pamekasan kemungkinan besar tidak akan terlaksana dalam waktu dekat. Rencana tersebut tampaknya kurang mendapat dukungan dari Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat, karena dinilai sulit dilaksanakan di tahun ini. Selain itu, dikhawatirkan akan terjadi pelanggaran yang menyebabkan pengurus pokmas yang terdiri dari warga miskin harus berurusan dengan hukum.
Wakil Ketua DPRD Pamekasan, Suli Faris mengatakan pola pokmas yang rencananya akan mulai digunakan tahun ini sulit untuk berjalan sesuai harapan, karena sistem penebusan di gudang Bulog masih menggunakan cara membayar terlebih dulu baru beras dikirim ke desa (cash and carry). Dengan sisitem yang belum berubah itu, sangat sulit dipenuhi pokmas karena biaya penebusan yang sangat mahal, sementara pokmas anggotanya sebagian besar merupakan warga miskin.
“Pola distribusi melalui pokmas itu hanyalah salah satu pilihan dari tiga cara yang diatur dalam mekanisme pendistribusian raskin. Namun jika pola itu digunakan di sini sangat tidak mungkin dilakukan, karena sistem pembayarannya tidak berubah. Siapa yang mau menalangi uang tebusannya?” katanya.
Karenanya, ia meminta agar rencana perubahan pola itu dikaji ulang. Jika masih akan dilakukan perubahan sesuai dengan yang direncanakan, maka mekanisme penebusan di Bulog juga harus disesuaikan. Sebab, pokmas yang anggotanya terdiri dari penerima manfaat itu, tidak akan mampu melakukan penebusan yang menggunakan pembayaran di muka seperti saat masih disalurkan melalui kepala desa. Kecuali ada pihak ketiga yang membantu pokmas dengan pinjaman lunak sebagai modal awal.
Demikian pula, pokmas tidak akan mampu menutupi kekurangan pembayaran akibat macetnya pembayaran dari penerima manfaat. Yang juga menjadi persoalan penditribusian raskin di Pamekasan, kata dia, adalah masih adanya data penerima yang kurang tepat sehingga masih ada penyiasatan oleh kepala desa (kades) dengan menerapakan pemerataan penerima raskin di desanya.
“Ini yang juga sulit dilakukan oleh pokmas sehingga dikhawatirkan nanti akan menimbulkan persoalan baru akibat adanya kecemburuan sosial yang disebabkan kurang validnya data penerima itu,” jelas Suli.
Jika pokmas mengeluarkan kebijakan sendiri demi keamanan dengan menyisiati melakukan pemertaan, tambah Suli, tidak ada pihak yang mampu melindungi ketika terjadi gugatan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, karena hal itu merupakan pelanggaran aturan yang berdampak pada proses hukum. Apalagi, kata Suli, bagian Kesejahteraan Rakyat Pemkab Pamekasan juga menyatakan bahwa hingga saat ini hampir semua kecamatan belum siap untuk menggunakan pola baru tersebut, kecuali Kecamatan Galis.
Suli mengakui tujuan perubahan pola distribusi itu sangat bagus karena bertujuan untuk mengurangi angka penyelewengan raskin. Namun pihaknya sangat pesimis pola itu bisa efektif karena dalam aturannya pokmas itu dibentuk oleh kepala desa setempat sehingga bisa jadi pokmas itu merupakan kepanjangan tangan dari kepala desa. Yang ia khawatirkan dengan aturan itu, jika terjadi pelanggaran, kepala desa akan lepas tangan dan akan menimbulkan rasa tidak percaya masyarakat terhadap pelaksanaan raskin karena meski sudah diubah pola ditribusinya tetap terjadi penyelewengan.
“Kami hanya ingin rencana ini dikaji ulang karena kami tidak ingin warga miskin selalu menjadi korban,” kata Suli.
Ketua Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M), Heru Budi Prayitno mengatakan dirinya sepakat dengan apa yang dinyatakan Suli Faris, namun bukan berarti ia mendukung jika pemerintah membatalkan rencana itu.
Menurutnya, perubahan pola itu harus diikuti dengan perubahan mekanisme, termasuk sistem penebusan. Selain itu, pembentukan pokmas itu harus dilakukan secara partisipatif, bukan didasarkan oleh penunjukan kepala desa. Sebab, jika hal itu terjadi, maka tidak akan ada bedanya antara pola lama dengan pola baru yang direncanakan.