PAMEKASAN – Sejumlah petani di Kabupaten Pamekasan lebih memilih menanam jagung lokal daripada mengikuti saran Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, untuk beralih menanam jangung hibrida.
Alasannya karena biaya untuk menanam jagung hibrida lebih besar jika dibandingan dengan biaya menanam jangung lokal. Selain itu, petani menilai rasa jangung lokal lebih diminati karena lebih layak untuk jagung konsumsi.
Ketua Kelompok Tani di Desa Tlontoh Raja, Kecamatan Pasean, Ahmad Da’i mengatakan petani yang membudidayakan jagung hibrida sangat jarang, karena harga benihnya lebih mahal dan biaya tanamnya dua kali lipat dari jagung lokal. Anggotanya yang menanam jagung, semuanya untuk dikonsumsi sebagai campuran beras untuk dimasak menjadi nasi. Sehingga alasan utama memilih menanam jagung lokal karena jagung tersebut lebih layak untuk dikonsumsi daripada jagung hibrida.
“Hasil panen jagung hibrida itu memang dua kali lipat dari jagung lokal. Tapi biaya tanamnya juga lebih mahal,” katanya.
Perbandingannya, jelas dia, jagung lokal hanya membutuhkan satu sak pupuk, sedangkan jagung hibrida dua sak. Itu belum termasuk harga benih yang lebih mahal.
Kepala Dinas Pertanian (Disperta) Kabupaten Pamekasan, Isye Windarti mengatakan saat ini pengembangan jagung hibrida hanya terfokus di beberapa kecamatan di wilayah selatan dengan sentra berada di Kecamatan Larangan, Kadur, Galis dan Pagantenan. Sementara Kecamatan lainnya masih membudidayakan tanaman jagung lokal.
Kendala untuk dapat menambah hasil produksi jagung di Kabupaten Pamekasan, kata dia, karena petani jagung di wilayah itu belum ada keinginan untuk beralih menanam jagung hibrida. Dengan alasan harga benih dan rasa yang dihasilkan jagung hibrida kurang enak.
Menurutnya, harga benih lebih mahal itu karena benih jagung yang dipilih merupakan benih unggul dengan hasil yang lebih besar dan uang hasil penjualan juga lebih banyak dari jagung lokal. Diperkirakan alasan kuat petani enggan berganti benih karena umumnya tidak seluruh hasil produksi jagung mereka akan dijual, melainkan akan dikonsumsi sendiri. Kebanyakan petani di wilayahnya masih menjadikan jagung sebagai salah satu bahan makanan pokok. Sehingga mereka baru akan menjual hasil panen jagung mereka pada saat sangat butuh uang.
“Ini yang menjadi kendala kami untuk pengembangkan jagung hibrida, khususnya di wilayah pantura seperti Kecamatan Batumarmar, Waru, dan Pasean. Petani masih tetap membudidayakan jagung lokal, karena hasil panen jagungnya lebih banyak untuk dikonsumsi, ” katanya.