BANGKALAN – Besar harapan adanya kejelasan terkait nasib Zainab, (48), tenaga kerja wanita (TKW) asal Kelurahan Mlajah Kecamatan Kota Bangkalan, yang mendapatkan vonis hukum pancung setelah melakukan pembunuhan terhadap majikannya di Saudi Arabia beberapa tahun silam. Namun, harapan itu sirna karena tak kunjung ada kejelasan setelah keluarga Zainab, Halimah, 56 dan Syarifuddin, 18 selama dua belas hari berada di Saudi Arabia tidak medapatkan kepastian dari pihak keluarga korban.
Sejatinya, anak sulung dan saudara Zainab, berangkat dari Bangkalan Rabu (19/3) waktu lalu. Akan tetapi, karena masih harus menyelesaiakan proses administrasi di Jakarta, keduanya baru tiba di Saudi Arabia pada hari Jum’at (21/3). Pada saat tiba di Saudi Arabia, kesempatakn bertemu langsung dengan Zainab yang berada di penjara Madinah berlangsung sangat singkat yakni hanya satu jam untuk memastikan kondisi Zainab baik-baik saja. Tak ada kabar lain yang bisa diterima, kecuali hanya terkait kesehatan Zainab.
“Kami hanya bisa bertatap muka di penjara Madinah selama satu jam. Hanya bisa melihat saja tanpa ada kepastian mengenai nasibnya,” ujar Halimah di kediamannya.
Keluarga Zainab baru tiba di Bangkalan, hari Senin (31/3) pagi hari. Sebab, sehari sebelumnya masih melakukan pertemuan dengan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) di Semarang. Namun sayangnya, pertemuan tersebut tidak menghasilkan kabar gembira menganai nasib Zainab yang telah dihukum selama 15 tahun. Apalagi, dalam pertemuan itu juga membahas TKI lain yang juga bernasib sama dengan Zainab.
”Kami masih di semarang melakukan pertemuan dengan Presiden SBY bersama keluarga TKI yang terkena hukum pancung. Disana juga ada keluarga dari Satinah, Tuti Tursilawati, dan Karni Binti Medi,” katanya Halimah
Halimah mengaku selama berada di Saudi Arabia tidak pernah bertemu dengan keluarga almarhum Nurah Bin Abdullah. Sehingga, dirinya tidak mengetahui kelanjutan kasus dan nasib Zainab ke depan. Apalagi, selama perundingan dengan keluarga korban tidak pernah dilibatkan. Tentunya, tidak dilibatkannya selama perundingan membuatnya semakin bingung terkait keberlangsungan hidup Zainab.
”Kami tidak tau apa bebas harus ditebus, karena ada tim khusus yang berunding disana. Intinya kabar penebusan mencapai Rp 90 miliar itu belum ada kejelasan dan katanya keluarga korban belum mengajukan permintaan biaya itu,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans), Ismet Effendi mengatakan pihaknya belum bisa memastikan nasib Zainab seperti apa, karena kelurga korban masih berembuk dan belum ada ke arah permintaan biaya tebusan. Keluarga korban akan menyampaikan keputusannya setelah satu bulan dari kemarin.
”Kami belum bisa memastikan bagaimana nasib Zainab, karena keluraga korban baru akan mengambil keputusan setelah satu bulan. Pemerintah terus berupaya agar Zainab bisa dibebaskan dengan permononan maaf dan tanpa biaya tebusan,” kata Ismet.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Zainab berangkat ke Saudi Arabia pada 7 Maret 1998. Pada bulan Agustus-September 1999 mengirim surat keluarganya perihal rencana kepulangannya, karena mengaku tidak betah. Namun, sebelum niatnya terlaksana, Zainab ditangkap pada pada Maret 2000 karena dituduh membunuh majikannya. Zainab pun dijatuhi hukum mati. Pertengahan Juli 2000, dua hari sebelum qishas (hukuman pancung), Presiden Abdurrahman Wahid berhasil melobi pemerintah Saudi Arabia hingga hukuman pancung ditunda.