SUMENEP – Dihentikannya kasus dugaan penggelembungan (mark up) anggaran pengadaan lahan SMAN 1 Batuan terus menjadi bola panas. Kalangan LSM (lembaga swadaya masyarakat) mencurigai Kejaksaan Negeri Sumenep “bermain mata” atau melakukan kongkalikong dengan pihak terlapor. Kasus itu sudah menggelinding ke penyidikan.
Indikasinya, diawal, Kejari menyatakan kasus itu sudah layak masuk ke penyidikan dari penyelidikan. Itu karena sudah memenuhi unsur melawan hukum. Anehnya, belakangan malah menyatakan tidak ada kerugian negara.
”Ini yang sangat aneh bagi kami, mengapa Kejari buru-buru menaikkan status kasus itu ke penyidikan. Kalau masih akan dihentikan,” kata Ketua LSM Sumenep Independen, M. Ramzy, Senin (14/7).
Ramzy mengungkapkan, untuk menaikkakn status itu tentunya Kejari sudah memiliki dua alat bukti yang cukup. Belakangan, yang menjadi polemik soal penentuan tersangka dalam kasus SMAN 1 Batuan itu. ”Tidak mungkin kasus ini naik ke penyidikan, kalau tidak ada alat bukti yang cukup. Belakangan kan masalah tersangkanya,” ungkapnya.
Bekas aktivis Jakarta ini mengungkapkan, sejumlah pihak tentu patut curiga kepada Kejari soal penghentian kasus dugaan mark up itu. Bahkan, pihaknya menduga ada permainan antara pihak Kejari dengan terlapor. ”Pantas, kami mencurigai hal itu (ada permainan, Red). Sebab, itu sangat mencengangkan bagi kami. Kalau penyelidikan tentu kami tidak heran,” ungkapnya.
Hal yang sama diungkapkan Ketua LSM Sango, Dayat. Dayat meminta Kejari terbuka soal penghentian kasus dugaan mark up lahan SMAN 1 Batuan. ”Kalau alasan BPKP belum menemukan ada kerugian negara, maka bagi kami tidak masuk akal. Seharusnya, ini masih diusut lagi,” ungkapnya.
Bahkan, Dayat meminta pelapor kasus itu untuk mempra peradilkan kejari. Itu agar ada kepastian dalam penghentian kasus ini. ”Kami minta pelapor untuk mempraperadilkan saja Kajari. Biar ada kepastian. Sehingga, kasus yang sudah ada tidak lagi dihentikan sepihak,” ungkapnya.
Kasi Pidsus Kejari Sumenep Sugianto belum bisa dikonfirmasi terkait tudingan ini. Namun, pada keterangan sebelumnya, Sugianto mengaku penghentian itu didasarkan dari hasil expose (gelar perkara). Dari hasil expose tidak ditemukan ada kerugian negara dalam kasus tersebut. Sebab, harga yang ditentukan tidak jauh dengan yang direncakan hasil aprisal.
BPKP (Badan Pemerikan Keuangan dan Pembangunan) menyatakan tidak menemukan kerugian negera. Otomatis, harga yang ditentukan tidak ada masalah. Sudah tidak jauh beda dengan harga di pasaran. Kasus ini mencuat dari laporan JCW 2013 lalu.