BANGKALAN – Semakin menjamurnya jasa penukaran uang receh jelang lebaran di Bangkalan mendapat perhatian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat. MUI mengimbau pada warga yang ingin menukar uang receh supaya hati-hati. Bila tidak, maka hukumnya bisa mengarah pada haram. Sebab dalam proses penukaran, uangnya diserahkan sekaligus antara nilai pokok dengan kelebihan. Oleh karenanya, hukum menukar atau membeli uang dengan nilai yang berbeda tidak diperbolehkan.
Supaya proses penukaran uang sah menurut agama, ketika menyerahkan uang penukaran tidak boleh sekaligus, yakni dengan bertahap. Pertama uang yang diberikan sesuai dengan nilai pokok hendak ditukar. Setelah itu, disusul dengan sisa kelebihan nilai uang tersebut. Artinya, uang yang diberikan terakhir merupakan ongkos atau jasa untuk orang yang punya uang receh baru saat menukar ke Bank.
“Kalau uang tukarannya diberikan sekaligus, itu tidak boleh. Bahkan, ini namanya haram jika angkanya tidak sama. Tapi, harus ada ijab atau kesepakatan. Lalu saat diberikan uangnya tidak bersamaan,” ucap Ketua MUI Kabupaten Bangkalan, KH Syarifudin Damanhuri, Selasa (15/7/2014).
Menurutnya, bila uang receh yang ditukar pada masyarakat nilainya sama. Misal Rp 100 ribu ditukar dengan Rp 100 ribu, itu tidak masalah walaupun diberikan secara bersamaan. Namun, jika penukaran uang di jalanan tidak mungkin sama nilainya. Pasti ada selisih karena mereka ingin mendapatkan untung dari hasil penukaran uang tersebut. Supaya tidak mengarah pada status haram, perlu dilakukan sebuah kesepakatan dan uangnya tidak boleh diberikan bersamaan.
“Misal tukar Rp 100 ribu, ini uang yang ditukar Rp 100 ribu dan lalu ini Rp 10 ribu untuk ongkos atau jasanya. Jika seperti ini prosesnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Maka dari itu, masyarakat perlu hati-hati,” tandasnya.
Sementara itu, salah seorang warga setempat, Suhul Anam menyatakan dirinya menukar uang Rp 400 ribu dengan harga Rp 440 ribu pada orang yang menjajakan uang baru di pinggir jalan. Adapun uang receh yang ditukar meliputi Rp 2 ribu, Rp 5 ribu dan 10 ribu serta Rp 1.000.
Dirinya menukar uang receh tersebut untuk dibagikan pada keponakan dan para tetangga saat lebaran nanti. Sebab, hal semacam itu sudah menjadi sebuah tradisi. Dimana yang tua memberikan uang receh pada yang muda.
“Kalau diberi uang baru, anak-anak kan senang meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak. Maka dari itu, saya menukar uang receh yang baru,” paparnya.
Sementara itu, salah seorang pemilik atau jasa penukaran uang receh, Syamsuri menyatakan, pekerjaan menukarkan uang receh pada masyarakat sudah dilakoni setiap tahun, tepatnya menjelang lebaran. Sebab, banyak masyarakat yang ingin menukar uang receh.
Pecahan uang yang ditawarkan pada masyarakat pun bervariasi mulai Rp 1000, Rp 2000, Rp 5000 dan Rp 10.000. Mereka menjajakan uang di pinggir Jalan Mayjend Sungkono atau pasar senggol dan depan masjid Agung Kota Bangkalan.
“Keuntungannya setiap bendel atau berjumlah Rp 100 ribu yakni sebesar Rp 10 ribu. Lumayan hasilnya, bisa buat berlebaran nanti. Sebenarnya pekerjaan saya menjual koran, jasa penukaran uang ini hanya sampingan,” paparnya.