Oleh: M. Fauzi*
Pendahuluan
Manusia Madura lahir dari berbagai peradaban yang bercampur baur dalam dinamika kultural. Proses akulturasi mendedahkan riwayat yang kuat dalam kepribadian manusia Madura. Hal tersebut bisa dilihat dari berbagai suku etnis manusia Madura, ada Cina, Arab, bugis dan semacamnya.
Dari berbagai suku dan etnis kita dapat melihat, merasakan sekaligus menyadari bahwa manusia Madura memiliki gagasan tentang keterbukaan (open minded), pluralisme, heteronomi dan inklusifitas diri terhadap gagasan-gagasan yang datang dari luar dirinya.
Hakikatnya, kebudayaan terus bergerak melewati tapal batas budaya itu sendiri, melewati tubuh, melewati bahasa sekaligus melewati pelbagai piranti kultural yang dijadikan alat ukur bahwa manusia itu berbudaya. Silang-sengkalut identitas menyeruak dan seakan-akan mencabik-cabik segala yang ada dan kita jaga, tapi pada gilirannya kita pun memakainya sebagai alat kelengkapan diri sebagai manusia (modern). Sikap kontradiksi dan diri yang terpecah-pecah seakan-akan meletakkan tubuh dalam asbak, tapi begitulah segala yang ada bermula, berakhir, bermula, berakhir, bermula lagi, berakhir lagi, begitulah seterusnya.
Manusia Madura hidup dalam garis geografis yang membujur ‘antara’ musim kemarau dan musim penghujan. Hikayat cuaca dalam ilmu perbintangan sebagai penanda atau piranti bahwa manusia manusia begitu sangat percaya terhadap kekuatan yang tersimpan di dalam alam semesta. Maka, sangat banyak kita jumpai ritual-ritual pemujaan yang dilakukan oleh manusia Madura sebagai bentuk kesadaran spiritual, seperti Cahe, Sintung, Ojung, Temmong, Rokat Disa, Rokat Tase’, Rokat Pandaba, Nyadar, Toron Tana dan semacamnya.
Identitas diri manusia Madura bisa dilihat dari pelbagai sudut pandang, secara fisik, mungkin wajahnya agak sedikit keras menebal, kulit coklat-kehitaman, lantaran setiap hari bergelut dengan tanah dan laut (bertani dan berlaut). Hidup bertani dan melaut mencipta etos kerja bagi manusia Madura
Spirit Taneyan Lanjang, Mempertegas Jati Diri Bangsa
Taneyan Lanjang adalah bentuk atau arsitektur bangunan atau tata ruang masyarakat Madura, yang diilhami oleh berbagai kisah dari nama-nama dalam epos mahabrata, bahkan nama Madura sendiri dalam bahasa sansekerta memiliki makna molek dan cantik. Penamaan ini dapat ditelisik dari proses penyebarluasan agama hindu, yang dilakukan kaum terdidik. Pada mulanya mereka mengajarkan huruf pallawa, yaitu bahasa yang dipakai di India. Akan tetapi di Madura, Jawa, Sunda dan Bali berkembang menjadi anacaraka (Rifai: 1993: 8).
Dari sinilah sebenarnya kita dapat menelisik lebih jauh bahwa bahasa Madura atau asal-usul nama-nama berasal dari India, yang penyebarannya melalui kaum cerdik cendikia. Bahasa dan asal-usul nama-nama desa juga menjadi perhatian yang cukup kuat, sehingga nama-nama tersebut melahirkan persepsi atau pemahaman bahwa manusia Madura begitu sangat dekat dengan yang namanya pemujaan. Ritual-ritual dengan membakar kemenyan, nyonson pada malam setiap malam jumat, membakar dupa disaat akan memulai bertani atau membajak tanah, juga di saat akan melaut segala sesuatunya beraroma dupa, meletakkan sesajen berupa tajin tujuh rupa di simpang empat (tap dang-dang) masih dapat kita temui pada masyarakat tradisi masyarakat Madura.
Setiap nama memiliki asal-usulnya, begitu pun nama-nama desa di daerah Madura, seperti desa candi di kecamatan Dungkek dapat kita maknai sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu dan budha dahulu kala. Hal ini menjadi epos dari berbagai kisah dari berbagai nama-nama desa yang ada di Madura, meskipun riwayat ini hampir runtuh dan punah seiring dengan proses Indonesiasi yang begitu kuat dan mengikat.
Proses peng-Indonesia-an nama-nama desa di Madura semakin mempertegas bahwa Madura kehilangan keunikannya, kehilangan ciri khasnya, kehilangan cita-rasa. Nama-nama desa yang di Indonesiakan pengucapannya menghilangkan logat—dialek Madura, seperti Tang-Batang menjadi Batang-Batang, To-Pote menjadi Batu-Putih dan masih banyak lagi yang harus kita sikapi sebagai manusia Madura.
Lebih lanjut Rifai (1993:9) mengatakan bahwa sistem penataan ruang Taneyan Lanjang yang melandasi tata letak kompleks perumahan Madura agaknya menjadi mantap di jaman kejayaan Hindu. Seperti diketahui rumah-rumah tradisional sebuah keluarga Madura dibangun secara berjajar sepanjang suatu halaman yang memanjang dari barat ke timur. Rumah pertama terletak di barat daya menghadap ke selatan dan rumah-rumah berikutnya dibangun di kiri datau di sebelah timurnya. Di hadapannya—jadi di sisi lain halaman, didirikan dapur, lumbung padi serta rumah-rumah lainnya. Sekarang di ujung barat halaman hampir selalu dibangun langgar yang berfungsi sebagai musalla keluarga merangkap tempat tidur para tamu. Sedangkan tanam-tanaman yang ditanam di rumah taneyan lanjang adalah pohon kelor (maronggi), pohon palembang (kan palembang), kelapa gading dan pohon sirih. Tanam-tanaman tersebut memiliki khasiatnya tersendiri dan acapkali dijadikan sebagai bahan obat-obatan, bahkan yang paling ekstrim sebagai obat bagi masyarakat yang kesurupan.
Pada hakikatnya Taneyan Lanjang memiliki fungsi sebagai alat pemersatu bagi suatu keluarga, menanamkan sikap sopan santun, bekerjasama (song-osong lompung) merupakan salah satu piranti bagi manusia Madura untuk tetap hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya. Selain itu, dengan dibangunnya langgar di ujung barat daya, mengindikasikan bahwa manusia Madura begitu sangat dekat dengan Tuhannya. Spiritualitas bagi manusia Madura lahir dari senyawa diri yang harus dipegang teguh dan dijadikan pedoman di dalam melangkah. Pola hubungan kultural pada masyarakat Madura lekat di dalam tiga komponen aspek hubungan, yaitu: hubungan manusia dengan alam semesta, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan Tuhannya.
Dari sinilah sebenarnya Taneyan Lanjang memiliki sejarah dan maknanya untuk terus kita senyapkan dalam kesadaran masyarakat Madura, terutama bagi pemangku dan penentu kebijakan untuk mengembalikan arsitektur Taneyan Lanjang sebagai tata bentuk bangunan masyarakat Madura.
Arsitektur Taneyan Lanjang memiliki filosofi terbuka dan tertutup, terbuka bagi siapapun, dan tertutup bagi siapapun, termasuk diri kita. Semoga!
*) Ketua Prodi Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Sumenep